Wajah Hukum di Indonesia: Keadilan dan Kebahagiaan yang Belum Terwujud


Oleh: Husni Mubarak

“Bahwa tujuan akhir bernegara hukum adalah untuk menjadikan kehidupan rakyat dan bangsa ini bahagia,” – Prof.Dr.Satjipto Rahardjo, S.H

Sepenggal kutipan diatas dari Guru Besar Sosiologi Hukum Undip ini memang tertuju untuk sebuah negara yang hari ini berulang tahun ke-66, yaitu Republik Indonesia. Negara ini memang dicita-citakan sebagai negara hukum atau rechtstaat bukan negara berdasarkan kekuasaan. Jadi sudah jelas bahwa di semua bidang kehidupan di Indonesia itu diatur oleh hukum. Namun, pertanyaannya: Apakah aturan hukum di negeri ini sudah bisa membuat rakyat bahagia? Sesuai kutipan Profesor Satjipto Rahardjo diatas.

Menurut saya yang masih awam hukum karena masih menyandang status sebagai mahasiswa baru Fakultas Hukum – yang notabene belum belajar Ilmu Hukum – sistem hukum di Indonesia ini lengkap dari hukum pidana sampai hukum tata negara dilihat dari perangkat penegak hukum di Indonesia seperti lembaga peradilan, polisi, dan kejaksaan. Bahkan di era reformasi terdapat lembaga hukum yang baru seperti Mahkamah Konstitusi (MK), Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), dan juga Komisi Yudisial (KY). Seharusnya Indonesia menjadi negara hebat di bidang hukum dan keputusan hukum kita harus berdasarkan keadilan yang membuat masyarakat bahagia.

Jika kita ibaratkan hukum seperti bentuk wajah maka wajah hukum di Indonesia itu sangatlah lengkap, dia mempunyai mata, hidung, dan mulut, tetapi masih ada saja luka dan goresan dalam wajah tersebut. Ini artinya bahwa sistem hukum di Indonesia sudah sangatlah lengkap tetapi pada kenyataannya sering terjadi penyelewangan hukum yang membuat citra hukum itu menjadi rusak.

Korupsi yang semakin merajalela di Indonesia tidak hanya terjadi kepada pejabat negara ataupun politisi, sekarang ini sudah merambat pula kepada para penegak hukum yang mendapatkan suap dari para koruptor agar nantinya vonis hukum menjadi ringan atau bahkan menjadi bebas.

Beberapa tahun terakhir terdapat banyak kasus yang berkaitan erat dengan tindak pidana korupsi seperti kasus penyuapan jaksa Urip Tri Gunawan, kasus mafia hukum, kasus Gayus Tambunan, hingga yang terakhir sekarang ini yaitu kasus mafia anggaran Nazaruddin – yg sedang dijalankan proses hukumnya – dan mungkin masih banyak lagi kasus hukum serupa di Indonesia tetapi penegakan hukum terhadap kasus tersebut terkadang lemah. Bahkan seorang Gayus Tambunan ketika masih menjadi tersangka bisa saja kabur dari rumah tahanan untuk pergi ke Bali dan Luar Negeri.

Di sisi lain, keadilan hukum tampaknya belum seluruhnya tercapai karena terdapat ketimpangan keadilan hukum di Indonesia. Contohnya bisa kita lihat dari pemberitaan media dua tahun yang lalu: kasus yang menjerat rakyat kecil seperti kasus Mbok Minah (2009) yang dituduh mencuri 3 buah kakao yang jatuh dari pohonnya dan diancam hukuman penjara. Menurut hati nurani kita, mungkin kasus tersebut tidak perlu sampai diperkarakan di pengadilan, tetapi fakta hukum berkata lain.
           
Beda koruptor beda Mbok Minah, terkadang para koruptor masih aman-aman saja di Indonesia -- tanpa proses hukum atau mungkin bisa kabur ke luar negeri, sedangkan nasib orang-orang kecil seperti Mbok Minah dirampas haknya. Ironis. Mungkin benar ungkapan masyarakat luas terhadap penegakan hukum di Indonesia: “yang kuat yang akan menang karena banyak uang,” sungguh miris kita mendengarnya.
  
Tidak bisa dipungkiri, realita wajah hukum di Indonesia memang seperti ini, keadilan terkadang sulit tercipta. Padahal, tujuan mulia hukum sebenarnya adalah untuk kepentingan manusia. Hukum juga bertujuan untuk membuat ketertiban masyarakat melalui proses yang berkeadilan. Meminjam pernyataan Profesor Satjipto Rahardjo: “hukum harus digali dengan upaya-upaya progresif untuk menggapai terang cahaya kebenaran dan menggapai keadilan.”

Kita tidak perlu putus asa melihat kenyataan ini, karena harapan itu masih ada selagi Republik ini masih berdiri. Harapan untuk memperbaiki hukum di Indonesia. Harapan untuk menyongsong keadilan di Indonesia agar rakyat bahagia.

Wajah hukum Indonesia mungkin masih banyak luka disana-sini, tetapi semangat kita – sebagai mahasiswa baru hukum-- untuk memoles kembali wajah yang luka tersebut di masa mendatang masih tetap menyala.

Indonesia sebagai negara hukum yang berumur 66 tahun ini kemungkinan masih bisa berbenah diri di bidang hukum. Tetap optimis karena perjuangan belum selesai.  Terakhir saya mengutip kembali kalimat dari Profesor Satjipto Rahardjo kembali:
           
“Marilah dengan semangat bangun dari keterpurukan hukum sekarang ini, kita membangun kembali hukum Indonesia dengan suatu penegasan filsafat baru, bahwa hukum hendaknya memberikan kebahagiaan kepada rakyat.”

Daftar Pustaka:
Rahardjo, Satjipto. Penegakan Hukum Progresif. Jakarta: Kompas. 2010

Jakarta, 17 Agustus 2011

*Tulisan ini adalah tugas Penerimaan Mahasiswa Baru Fakultas Hukum Universitas Diponegoro 2011


No comments:

Post a Comment