Mengembangkan Ajaran Gus Dur Tentang Multikulturalisme Sejak Dini : Melahirkan Insan-Insan yang Humanis

Oleh : Husni Mubarak

Humanisme yang secara sempit diartikan sebagi sikap menghargai karya dan pemikiran orang lain atau dengan istilah lain yaitu “memanusiakan manusia” sejatinya adalah sikap awal kita kepada multikulturalisme. Kata “Humanisme” saya dengar ketika pelajaran Sejarah tentang Revolusi Prancis. Ya humanisme sendiri memang lahir karena dampak meletusnya Revolusi Prancis tahun 1799. Berbicara soal humanisme pasti kaitan eratnya adalah dengan multikulturalisme karena esensi nilai utama yang terkandung didalam multikulturalisme adalah semangat menghargai sesama manusia yang memiliki latar belakang budaya berbeda. Penghargaan atas karya seseorang didalam perbedaan sejatinya adalah bentuk dari humanisme yang berbingkai multikulturalisme.

Saya mempunyai sosok yang amat saya kagumi karena pemikiran dan perjuangan-nya yang gigih membela hak-hak kaum minoritas dan mengembangkan sikap multikulturalisme di Indonesia. Sosok itu ialah (Alm) KH.Abdurrahman Wahid atau akrab disapa Gus Dur. Beliau pula adalah sosok yang sangat terkenal humanis. Benyamin F.Intan dalam opini di Kompas tanggal 7 Januari 2010 mengatakan “Sumbangsih terbesar Gus Dur terhadap bangsa adalah perjuangannya yang pantang mundur dalam mengusung pluralisme,”

Indonesia merupakan negeri dimana tumbuh berbagai suku, budaya, agama dan juga ras. Hal ini mendorong negeri ini terciptanya sebuah masyarakat majemuk atau beragam. Dalam pelajaran Sosiologi saya mempelajari tentang masyarakat majemuk yaitu sekelompok masyarakat yang terdiri dari beberapa macam budaya dengan segala kelebihannya.

Gus Dur memandang keberagaman adalah suatu keharusan karena bagi Gus Dur, keberagaman adalah garis yang telah ditentukan oleh Allah SWT. Melanggar keberagaman sama halnya telah melanggar Sunnatullah. Dalam kaitan ini, kembalu Benyamin F.Intan dalam tulisan opininya meminjam isitlah Wolfgang Huber yaitu Etchic of Dignity yang artinya melihat perbedaan sebagai pemberian. Ya saya sangat setuju karena pada dasarnya perbedaan itu adalah karunia yang sangat berharga dari Tuhan Yang Maha Esa, Allah SWT.

Setelah kita berbicara sedikit tentang masyarakat majemuk dan kini sampailah kita dengan apa yang disebut Multikulturalisme. Paham ini mengajak kita untuk menghargai dan mensejajarkan kebudayaan-kebudayaan yang berbeda didalam masyarakat yang majemuk. Seorang Gus Dur yang sepanjang hidupnya memperjuangkan gagasan toleransi terhadap sesama adalah sikap awal untuk mengembangkan sikap multikulturalisme. Dalam buku Sosiologi kelas 2 SMA terbitan Esis d bab “Masyarakat Multikultural” disebutkan bahwa “Multikulturalisme menuntut masyarakat untuk hidup penuh toleransi, saling pengertian antarbudaya dan antarbangsa dalam membina suatu dunia baru”.

Hemat saya sebagai penulis, bahwa sikap penuh toleransi sangat dibutuhkan di Indonesia yang penduduknya beragam ini. Untuk itu, sikap multikulturalisme harus diajarkan sejak dini baik di lembaga formal maupun non-formal sejak dini.

Mengembangkan Pendidikan Multikulturalisme Sejak Dini

Ketika saya masuk di SMA Negeri 13 Jakarta, saya berkenalan dengan teman-teman dari latar belakang yang berbeda baik dari kelas sosial maupun budaya yang berbeda. Beruntung kelas 2 SMA saya bisa masuk di kelas IPS, dikelas ini dalam pelajaran Sosiologi bab terakhir saya berkenalan dengan pelajaran mengenai multikulturalisme.

Ketika saya belajar multikulturalisme saya sadar bahwa kita tidak bisa memaksakan kebudayaan kita adalah yang paling benar. Kebenaran didalam budaya yang berbeda-beda adalah sifatnya relatif. Salah satu unsur didalam mewujudkan pendidikan multikulturalisme adalah pengakuan terhadap identitas budaya lain. Untuk Itu ketika kita sudah mempelajari multikulturalisme kita akan memberikan penghargaan terhadap budaya lain yang berbeda dan tidak merasa budaya kita paling benar.


Pendidikan multikulturalisme jika berjalan efektif dikalangan pelajar akan berbuah lahirnya insan-insan yang humanis. Insan-insan yang selalu dapat menghargai kebudayaan yang berbeda didalam masyarakat. Sikap humanisme yang diajarkan Gus Dur memberikan energi positif dalam pengembangan sikap multikulturalisme di Indonesia.

Melahirkan Insan-Insan Yang Humanis

Ketika generasi muda Indonesia sejak dini telah diajarkan gagasan-gagasan mengenai multikulturalisme, niscaya negeri kesatuan yang penduduknya beragam dan rawan konflik ini akan semakin bersatu di dalam perbedaan. Masyarakat akan semakin arif melihat sebuah perbedaan dalam negeri ini dan yang terpenting generasi muda Indonesia tidak mudah diprovokasi karena sudah dibekali pendidikan Multikulturalisme.

Kita ketahui bersama, Gus Dur memang telah meninggalkan kita semua pada 30 Desember 2009 silam namun pemikiran dan gagasan yang khususnya berkaitan dengan multikulturalisme tidak akan sirna ditelan bumi.

Gus Dur dan Pendidikan Multikulturalisme adalah kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Gus Dur memang bukan satu-satunya tokoh yang mengembangkan pendidikan Multikulturalisme namun Gus Dur kini telah menjadi ikon dari bagian Pendidikan Multikulturalisme. Saat ini, melahirkan insan-insan yang humanis melalui multikulturalisme adalah tantangan kita semua.
Saya berharap ketika saya bangun esok hari, pada tanggal 1 Juni 2010 ketika hari lahirnya Pancasila, Indonesia dapat tersenyum. Masyarakatnya lebih bijak dalam menyikapi keberagaman dan suatu saat akan lahir insan-insan yang humanis seperti Gus Dur. “Here lies a humanist. (Di sini berbaring seorang humanis).” !!

Jakarta, 31 Mei 2010



Referensi Pustaka :

•Kun Maryati dan Juju Suryawati. Sosiologi untuk SMA dan MA Kelas XI. Jakarta :
Erlangga
•Kumpulan Artikel. 2010. Damai Bersama Gus Dur. Jakarta : Kompas
•Tulsan Opini Benjamin F.Intan : “Gus Dur Pejuang Pluralisme Sejati”, Kompas 7
Januari 2010

Referensi Internet :

•Enslikopedi Wikipedia.org

My Name Is Khan “Atas nama toleransi dan kasih sayang”



Oleh : Husni Mubarak

Film India yang sangat mengedepankan sisi humanisme dan toleransi antar umat manusia. Isu terorisme menjadi salah satu tema yang diangkat dalam film ini.

Film ini berawal dari sosok seorang anak bernama Rizwan Khan. Dia seorang muslim yang terkena sindrom Asperger –lebih dari sindrom Autis- Hidup bersama ibunya di kota Mumbai India. Dari awal ibunya selalu mengajarkan kepada Khan bahwa di dunia ini manusia itu sama, yang membedakan adalah hanya dua yaitu manusia jahat dan manusia baik. Sebuah pesan mengandung semangat multikultural yang didalamnya perbedaan adalah sebuah karunia dari sang pencipta.

Saat dewasa Khan memilih untuk pergi merantau ke negeri Amerika Serikat meyusul adiknya Zakir yang telah menetap disana sejak lama. Disana Rizwan Khan tinggal bersama adiknya dan juga adik iparnya di kota San Fransisco. Di kota itulah dia mengenal Mandira, seorang Hindu. Rizwan Khan akhirnya jatuh cinta dan menikah dengan Mandira.

Kehidupan yang dilalui oleh mereka berdua lancer-lancar saja namun setelah peristiwa 9/11, Rizwan dan Mandira mulai menghadapi beberapa kesulitan. Dimulai dari sebuah tragedi, mereka berpisah. Ingin kembali memenangkan hati istrinya, Rizwan melewati sejumlah petualangan diberbagai negara bagian di Amerika.

Akhirnya atas nama cinta Rizwan Khan menjadi “pahlawan” yang terkenal di media massa karena keberanian dia mencegah kelompok ekstremis yang ingin melakukan tindakan terorisme. Belum selesai sampai disitu, dia akhirnya secara terbuka di depan presiden AS bahwa namanya adalah Khan dan dia bukan teroris.

Lalu sisi humanisme dan toleransi digambarkan dalam film ini ketika adegan Rizwan Khan menolong korban badai dan banjir di daerah desa terpencil di Amerika Serikat.yang penduduknya adalah berbeda keyakinan dengan Rizwan Khan. Nilai-nilai toleransi, humanisme, kasih sayang, persaudaraan antar manusia menjadi poin penting film tersebut. Film yang layak untuk disaksikan sekeluarga.