Negeri 5 menara : sebuah resensi

Judul Buku : Negeri 5 Menara

Nama Pengarang : A.Fuady

Penerbit : Gramedia Pustaka Utama

Jumlah Halaman : 432 Halaman


Cerita ini bermula ketika suatu kegundahan yang dialami oleh Alif, bocah dari pinggiran danau maninjau, Sumatera Barat, suatu kampung yang disanalah lahir ulama terkenal, Buya Hamka namanya. Alif bercita-cita ingin menjadi seorang “Habibie” , ahli teknologi yang pernah mengeyam pendidikan di ITB Bandung. Alif sangat ingin merasakan kuliah di ITB, salah satu jalannya adalah masuk ke sekolah umum. Namun, Ibunya menginginkan dia agar menjadi ulama seperti Buya Hamka, maka Ibunya berkehendak agar Alif masuk madrasah. Suatu pergolakan di dalam diri Alif muncul, di satu sisi Alif tidak ingin mengecewakan Ibunya, di satu sisi dia ingin meraih mimpi-mimpinya masuk di ITB. Tiba-tiba Alif mendapatkan pencerahan, dia memutuskan untuk mondok di suatu pesantren di Jawa Timur.

Berbekal keyakinan yang kuat dan restu dari Ibunya, Alif berangkat menuju Ponorogo, Jawa Timur bersama Ayahnya. Di perjalanan, mereka naik bus tiga hari tiga malam melintasi punggung Sumatera dan Jawa menuju sebuah desa di pelosok Jawa Timur. Sesampainya disana, dia dipertemukan oleh sosok-sosok yang nantinya akan menjadi bagian dari cerita di dalam novel ini. Raja dari Medan, Said dari Surabaya, Dulmajid dari Sumenep, Atang dari Bandung dan Baso dari Gowa adalah teman-teman seperjuangan Alif ketika nanti dia belajar di Pondok Madani. Mereka itulah yang diceritakan sering berkumpul melepas lelah dibalik menara masjid yang kokoh berdiri. Ditempat itulah mereka menunggu maghrib sambil memandang langit dan menyatakan mimpi-mimpi mereka. Mereka dijuluki sahibul menara. PM mengajarkan ketekunan kepada mereka, dengan pepatah Arab yang ”sakti” dan selalu melekat dikalangan santri ”man jadda wa jada” siapa yang bersungguh-sungguh akan berhasil. Guru-guru yang tawadhu tetapi ”keren” diceritakan dalam buku ini yaitu Kiai Rais ataupun Ustad Salman yang selalu menjadi inspirasi bagi para santri yang ada di PM. Kehidupan pesantren digambarkan menyenangkan tetapi tetap serius menjalankan kehidupan sehari-hari yang penuh akan kegiatan positif.

Penulis menceritakan kisah tersebut dengan bahasa yang mudah dimengerti serta sarat akan makna yang dapat dipetik. Buku tentang perjuangan meraih mimpi ini diceritakan secara lengkap dan jujur oleh sang penulis, lalu selipan humor khas pondok pesantren menambah isi buku ini semakin menarik untuk dibaca. Kisah-kisah inspiratif benar-benar ditunjukkan dalam novel ini. Direkomendasikan untuk dibaca para pelajar yang ingin meraih mimpi-mimpinya.

Husni Mubarak

Jakarta, 16 November 2009