Menjadi Mahasiswa (Baru)

Menjadi mahasiswa di Perguruan Tinggi Negeri (PTN) adalah salah satu impian saya ketika SMA dulu. Alhamdulillah impian saya tersebut terwujud saat ini. Sudah sekitar tiga minggu lebih saya merasakan kehidupan kampus di Fakultas Hukum Universitas Diponegoro (FH  Undip) Semarang. Tiga minggu sudah saya berada di Semarang, menjalani kehidupan dan pengalaman baru, jauh dari orang tua dan keluarga yang berada di Jakarta.  Status saya saat ini bukan lagi sebagai pelajar, melainkan mahasiswa (baru). Tiba-tiba saya teringat perjalanan saya hingga bisa berada di kampus Undip: dari pelajar menuju mahasiswa. Perjalanan yang penuh perjuangan.


Perjalanan saya untuk menjadi mahasiswa baru di FH Undip dimulai ketika saya mengikuti Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN) di Jakarta tanggal 31 mei dan 1 Juni 2011 silam. Seperti pelajar lainnya, setelah Ujian Nasional (UN) saya mempersiapkan diri untuk menghadapai SNMPTN 2011. Selama sebulan, saya harus belajar intensif di salah satu bimbingan belajar di Jakarta. Setiap hari selama sebulan harus mengerjakan latihan soal, hal ini dilakukan agar cita-cita lulus SNMPTN tercapai. Akhirnya, pengumuman SNMPTN yang ditunggu-tunggu datang juga, tanggal 29 Juni 2011 malam saya sudah mengetahui hasil. Saya dinyatakan lolos seleksi dan diterima menjadi mahasiswa baru FH Undip 2011. Orangtua saya khususnya Ibu sangat senang mendengar kabar tersebut. Segala puji bagi Allah SWT.

Hal pertama yang harus dilaksanakan mahasiswa baru adalah mengikuti rangkaian acara Program Penerimaan Mahasiswa Baru selama dua hari di kampus FH Undip Tembalang dan Pleburan.  Di FH Undip saya bertemu teman-teman dari beragam daerah di Indonesia. Dari Dari kota Medan hingga Yogyakarta. Menjadi mahasiswa di kampus negeri  memberikan nuansa baru bagi saya. Disini saya belajar memahami karakter orang lain dan bertoleransi kepada teman-teman yang berbeda budaya. Sebuah atmosfer multikulturalisme berada di kampus negeri, khususnya FH Undip. Saya bersyukur sekali mendapatkan teman baru, wawasan baru, dan pengalaman baru di kampus ini.

Menjadi mahasiswa baru di sebuah kota yang jauh dari kedua orang tua menuntut saya (dan mungkin teman-teman yang lain) untuk belajar hidup mandiri: mengatur keuangan sendiri, menjaga diri sendiri, dan juga bertanggung jawab atas apa yang kita perbuat disini. Orang tua di rumah mengharapkan anak-anaknya belajar dengan baik di universitas hingga sukses menjadi sarjana kelak.

Salah satu dosen di FH Undip pernah berkata dalam sebuah kelas (kurang lebih seperti ini): “mahasiswa itu identik dekat dengan rakyat, ketika rakyat mengalami kesusahan, maka mahasiswa juga harus merasakannya, minimal prihatin.” Ketika kita ditakdirkan menjadi mahasiswa, menurut saya kita harus belajar untuk lebih peduli dan peka terhadap lingkungan di sekitar kita. Sebagai mahasiswa, jangan pernah lelah untuk terus belajar, mencari ilmu, dan menggali kearifan lokal di lingkungan baru kita. Prinsip saya adalah harus mendapatkan ilmu baik di kampus dan juga kehidupan di luar kampus (masyarakat).

Menjadi mahasiswa baru adalah anugerah dari Tuhan buat saya: masih bisa melanjutkan pendidikan di tingkat universitas. Mungkin salah satu cara bersyukur saya atas anugerah ini adalah dengan belajar dengan tekun sebagai bentuk pertanggungjawaban kepada kedua orang tua yang membiayai saya kuliah.


-- Husni Mubarak di Semarang, 27 September 2011

Jakarta: Kenangan-Kenangan Sebuah Kota

Sudah sekitar seminggu saya menjalani kehidupan baru di kota Semarang, sebuah kota yang terletak di pesisir Pantai Utara Laut Jawa, sama seperti Jakarta. Sabtu pagi (10/7) saya berangkat ke Semarang naik kereta api kelas bisnis Fajar Utama Semarang jurusan Stasiun Pasar Senen - Stasiun Tawang. Ketika Anda naik kereta api dari Stasiun Senen pasti akan melewati pemukiman kumuh dan pasar yang letaknya di sekitar bantaran rel dari Senen menuju Jatinegara. Inilah salah satu sudut pemandangan pagi di Jakarta: yang tak manusiawi. Salah satu potret kemiskinan di kota yang disebut: megapolitan. 
         
Dibalik megahnya gedung-gedung perkantoran di Jalan Thamrin-Sudirman atau mewahnya rumah-rumah di Menteng atau Pondok Indah, masih terdapat rumah-rumah gubuk di sudut lain dalam kota ini -- seperti di dekat Stasiun Pasar Senen tersebut dan saya kira masih banyak lagi di Jakarta.
         
Hal diatas masih gambaran kecil tentang kota ini, karena masih terdapat sisi lain yang lebih kompleks. Sebagai Ibukota negara, Jakarta dikenal menjadi pusat pemerintahan bahkan juga pusat bisnis di Indonesia. Banyak orang dari berbagai daerah di Indonesia mengadu nasib di kota ini: mengira Jakarta bisa memberikan kehidupan yang layak untuk mereka. Banyak yang sukses bekerja disini, tetapi tak sedikit yang kecewa dengan kerasnya kota ini. Jakarta sering memberikan harapan-harapan palsu yang ditampilkan dalam bentuk sinetron-sinetron di televisi. Sinetron memberikan kecenderungan bahwa Jakarta identik dengan gaya hidup yang borjuis dan hedonis -- hal ini memikat pemuda desa lari ke kota dan terciptanya urbanisasi.
          
Jakarta kota besar dengan jumlah penduduk yang sangat padat: jutaan jiwa. Penduduk Jakarta heterogen: asalnya dari berbagai daerah di Indonesia. Kearifan kota ini terdapat dari kemajemukan penduduknya. Sebuah entitas budaya yang menarik. Di dalam perbedaan penduduknya tersebut, Jakarta memberikan ruang untuk hidup bersama dengan damai di dalam masyarakat yang multikultur. 
          
Kota ini bagi saya adalah kenangan yang takkan terlupa. Saya dilahirkan dan dibesarkan di Jakarta dalam kurun waktu sekitar 19 tahun ini. Teringat ketika kecil dulu bermain sepakbola bersama teman-teman di lorong gang sekitar rumah, bukan di lapangan. Dalam kerasnya kehidupan Jakarta, masih terdapat bocah-bocah atau anak kecil yang riang gembira ketika bermain di taman kota atau mungkin di pemukiman padat penduduk -- ketika lahan terbuka hijau sangat minim di kota ini.
         
 Zaman saya SMP dulu, setiap hari berangkat dengan angkutan umum Metro Mini --transportasi publik berbentuk minibus warna oranye yang betuknya tidak pernah berubah sejak dulu-- yang saat ini sudah sangatlah tua dan tidak nyaman lagi. Permasalahan Jakarta terletak pada sistem transportasi kota yang kurang ideal. Mempunyai transportasi publik yang nyaman, aman, dan bersifat massal adalah mimpi besar kota ini. Saat ini hanya ada Bis Transjakarta atau dikenal sebutan Busway -- karena memiliki jalur khusus sendiri.
          
Kemacetan menjadi rutinitas di Jakarta. Disaat moda transportasi publik yang nyaman belum cukup untuk memenuhi kebutuhan masyarakat Jakarta keseluruhan, menggunakan kendaraan pribadi saat pergi ke kantor atau sekolah adalah pilihan yang banyak digunakan masyarakat. Jadi, tak heran kemacetan adalah bagian yang tak terpisahkan dari kota ini. 
          
Saya tidak bisa menyalahkan: "salah siapa ini?" karena saya juga seorang pengendara sepeda motor di kota ini -yang berarti menyumbang kemacetan pula- walaupun sekali-sekali saya bepergian menggunakan transportasi umum. Menjadi impian saya adalah ketika kota yang saya cintai ini memiliki transportasi publik yang nyaman dan keren serta dapat mengangkut orang banyak lalu terhubung satu sama lain: Bis Transjakarta - Subway Train - Monorail - dan Bis Kota ataupun Minibus seperti Metro Mini dan Kopaja yang ber-AC sebagai feeder transportasi publik utama.
          
Jakarta dikenal sebagai kota yang memiliki sejarah panjang. Jakarta adalah kota tua yang sudah berumur 484 tahun. Kota ini masih eksis hingga sekarang: Dari masih bernama Sunda Kelapa, Jayakarta, Batavia, dan saat ini Jakarta. Saya mencintai kota ini dengan gedung-gedung tua dan bersejarahnya. Di Tanjung Priok terdapat stasiun yang masih kekar berdiri bergaya arsitektur Belanda, begitu juga dengan Stasiun "Beos" Kota. Masih di daerah Kota kita bisa menemukan Museum Sejarah Jakarta (Fatahillah) yang dulunya dipakai sebagai Balai Kota zaman Hindia Belanda. 
        
 Secara historis, Jakarta juga menjadi saksi bagaimana Presiden Soekarno mencanangkan ide proyek mercusuar saat masa Demokrasi Terpimpin sekitar tahun 60-an. Dibangun komplek olahraga megah di zamannya: Gelora Bung Karno yang digunakan untuk Asian Games 1962 dan Ganefo. Lalu ada gedung DPR/MPR yang berada di Senayan saat ini -- dulu direncanakan sebagai gedung Conference NEFO (New Emerging Forces). Hotel Indonesia juga adalah satu bangunan bersejarah dan gedung tertinggi di zamannya kala itu. Tak lupa Monumen Nasional (Monas) dan Masjid Istiqlal yang artinya merdeka.
          
Menurut saya, kota yang sehat  adalah kota dimana gedung-gedung tua dan bersejarah itu dirawat dengan baik sebagai tanda kenangan peradaban. Karena Prof Eko Budihardjo -Guru Besar Arsitektur Undip- mengatakan: "A City without old buildings is just like a man without memory".
          
Jiwa seni budaya harus terdapat dalam suatu kota agar "ruh kejiwaan" kota tersebut bertambah hidup. Ditengah kebisingan kota dan kesibukan kaum urban, masih terdapat sebuah tempat menarik di Jakarta dengan ragam wacana kebudayaan: Taman Ismail Marzuki, Gedung Kesenian Jakarta, dan Teater Salihara (masih banyak lagi gedung serupa). Ditengah kemacetan lalu lintas Jakarta atau kepadatan penduduk, kesenian dan kebudayaan menjadi alternatif bagi masyarakat untuk melepas penat.
           
Selain kesenian dan kebudayaan, sepakbola juga ciri khas dari kota ini. Di Jakarta terdapat dua tim sepakbola besar dengan pendukung yang fanatik: Persija Jakarta dan Persitara Jakarta Utara. Selain itu, setiap kali ada Timnas Indonesia bermain di Stadion Utama Gelora Bung Karno, sangat banyak penonton yang hadir disana. Hal tersebut menunjukkan animo yang besar dari sebagian masyarakat Jakarta terhadap sepakbola.
           
 Jakarta bagi saya adalah kota yang unik ketika kesibukan sebagai "ruang kerja" masyarakat berdampingan dengan masalah transportasi dan tata kota Jakarta. Juga ruh-ruh kebudayaan, kesenian, dan olahraga serta nilai historis kota ini. Jakarta telah melekat di hati saya walaupun saat ini berada di Semarang untuk melanjutkan studi (Insya Allah kurang lebih selama 4 tahun). Dari Semarang saya takkan melupakan Jakarta: kota yang penuh kenangan.
            
Mungkin suatu saat nanti saya akan kembali ke kota ini, yang penuh romansa kenangan.
            
Band Koes Ploes pernah membuat lirik: 


Ke Jakarta aku kan kembali, walaupun apa yang terjadi.


Semarang, 17 September 2011




--Husni Mubarak















Wajah Hukum di Indonesia: Keadilan dan Kebahagiaan yang Belum Terwujud


Oleh: Husni Mubarak

“Bahwa tujuan akhir bernegara hukum adalah untuk menjadikan kehidupan rakyat dan bangsa ini bahagia,” – Prof.Dr.Satjipto Rahardjo, S.H

Sepenggal kutipan diatas dari Guru Besar Sosiologi Hukum Undip ini memang tertuju untuk sebuah negara yang hari ini berulang tahun ke-66, yaitu Republik Indonesia. Negara ini memang dicita-citakan sebagai negara hukum atau rechtstaat bukan negara berdasarkan kekuasaan. Jadi sudah jelas bahwa di semua bidang kehidupan di Indonesia itu diatur oleh hukum. Namun, pertanyaannya: Apakah aturan hukum di negeri ini sudah bisa membuat rakyat bahagia? Sesuai kutipan Profesor Satjipto Rahardjo diatas.

Menurut saya yang masih awam hukum karena masih menyandang status sebagai mahasiswa baru Fakultas Hukum – yang notabene belum belajar Ilmu Hukum – sistem hukum di Indonesia ini lengkap dari hukum pidana sampai hukum tata negara dilihat dari perangkat penegak hukum di Indonesia seperti lembaga peradilan, polisi, dan kejaksaan. Bahkan di era reformasi terdapat lembaga hukum yang baru seperti Mahkamah Konstitusi (MK), Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), dan juga Komisi Yudisial (KY). Seharusnya Indonesia menjadi negara hebat di bidang hukum dan keputusan hukum kita harus berdasarkan keadilan yang membuat masyarakat bahagia.

Jika kita ibaratkan hukum seperti bentuk wajah maka wajah hukum di Indonesia itu sangatlah lengkap, dia mempunyai mata, hidung, dan mulut, tetapi masih ada saja luka dan goresan dalam wajah tersebut. Ini artinya bahwa sistem hukum di Indonesia sudah sangatlah lengkap tetapi pada kenyataannya sering terjadi penyelewangan hukum yang membuat citra hukum itu menjadi rusak.

Korupsi yang semakin merajalela di Indonesia tidak hanya terjadi kepada pejabat negara ataupun politisi, sekarang ini sudah merambat pula kepada para penegak hukum yang mendapatkan suap dari para koruptor agar nantinya vonis hukum menjadi ringan atau bahkan menjadi bebas.

Beberapa tahun terakhir terdapat banyak kasus yang berkaitan erat dengan tindak pidana korupsi seperti kasus penyuapan jaksa Urip Tri Gunawan, kasus mafia hukum, kasus Gayus Tambunan, hingga yang terakhir sekarang ini yaitu kasus mafia anggaran Nazaruddin – yg sedang dijalankan proses hukumnya – dan mungkin masih banyak lagi kasus hukum serupa di Indonesia tetapi penegakan hukum terhadap kasus tersebut terkadang lemah. Bahkan seorang Gayus Tambunan ketika masih menjadi tersangka bisa saja kabur dari rumah tahanan untuk pergi ke Bali dan Luar Negeri.

Di sisi lain, keadilan hukum tampaknya belum seluruhnya tercapai karena terdapat ketimpangan keadilan hukum di Indonesia. Contohnya bisa kita lihat dari pemberitaan media dua tahun yang lalu: kasus yang menjerat rakyat kecil seperti kasus Mbok Minah (2009) yang dituduh mencuri 3 buah kakao yang jatuh dari pohonnya dan diancam hukuman penjara. Menurut hati nurani kita, mungkin kasus tersebut tidak perlu sampai diperkarakan di pengadilan, tetapi fakta hukum berkata lain.
           
Beda koruptor beda Mbok Minah, terkadang para koruptor masih aman-aman saja di Indonesia -- tanpa proses hukum atau mungkin bisa kabur ke luar negeri, sedangkan nasib orang-orang kecil seperti Mbok Minah dirampas haknya. Ironis. Mungkin benar ungkapan masyarakat luas terhadap penegakan hukum di Indonesia: “yang kuat yang akan menang karena banyak uang,” sungguh miris kita mendengarnya.
  
Tidak bisa dipungkiri, realita wajah hukum di Indonesia memang seperti ini, keadilan terkadang sulit tercipta. Padahal, tujuan mulia hukum sebenarnya adalah untuk kepentingan manusia. Hukum juga bertujuan untuk membuat ketertiban masyarakat melalui proses yang berkeadilan. Meminjam pernyataan Profesor Satjipto Rahardjo: “hukum harus digali dengan upaya-upaya progresif untuk menggapai terang cahaya kebenaran dan menggapai keadilan.”

Kita tidak perlu putus asa melihat kenyataan ini, karena harapan itu masih ada selagi Republik ini masih berdiri. Harapan untuk memperbaiki hukum di Indonesia. Harapan untuk menyongsong keadilan di Indonesia agar rakyat bahagia.

Wajah hukum Indonesia mungkin masih banyak luka disana-sini, tetapi semangat kita – sebagai mahasiswa baru hukum-- untuk memoles kembali wajah yang luka tersebut di masa mendatang masih tetap menyala.

Indonesia sebagai negara hukum yang berumur 66 tahun ini kemungkinan masih bisa berbenah diri di bidang hukum. Tetap optimis karena perjuangan belum selesai.  Terakhir saya mengutip kembali kalimat dari Profesor Satjipto Rahardjo kembali:
           
“Marilah dengan semangat bangun dari keterpurukan hukum sekarang ini, kita membangun kembali hukum Indonesia dengan suatu penegasan filsafat baru, bahwa hukum hendaknya memberikan kebahagiaan kepada rakyat.”

Daftar Pustaka:
Rahardjo, Satjipto. Penegakan Hukum Progresif. Jakarta: Kompas. 2010

Jakarta, 17 Agustus 2011

*Tulisan ini adalah tugas Penerimaan Mahasiswa Baru Fakultas Hukum Universitas Diponegoro 2011