Jakarta: Kenangan-Kenangan Sebuah Kota

Sudah sekitar seminggu saya menjalani kehidupan baru di kota Semarang, sebuah kota yang terletak di pesisir Pantai Utara Laut Jawa, sama seperti Jakarta. Sabtu pagi (10/7) saya berangkat ke Semarang naik kereta api kelas bisnis Fajar Utama Semarang jurusan Stasiun Pasar Senen - Stasiun Tawang. Ketika Anda naik kereta api dari Stasiun Senen pasti akan melewati pemukiman kumuh dan pasar yang letaknya di sekitar bantaran rel dari Senen menuju Jatinegara. Inilah salah satu sudut pemandangan pagi di Jakarta: yang tak manusiawi. Salah satu potret kemiskinan di kota yang disebut: megapolitan. 
         
Dibalik megahnya gedung-gedung perkantoran di Jalan Thamrin-Sudirman atau mewahnya rumah-rumah di Menteng atau Pondok Indah, masih terdapat rumah-rumah gubuk di sudut lain dalam kota ini -- seperti di dekat Stasiun Pasar Senen tersebut dan saya kira masih banyak lagi di Jakarta.
         
Hal diatas masih gambaran kecil tentang kota ini, karena masih terdapat sisi lain yang lebih kompleks. Sebagai Ibukota negara, Jakarta dikenal menjadi pusat pemerintahan bahkan juga pusat bisnis di Indonesia. Banyak orang dari berbagai daerah di Indonesia mengadu nasib di kota ini: mengira Jakarta bisa memberikan kehidupan yang layak untuk mereka. Banyak yang sukses bekerja disini, tetapi tak sedikit yang kecewa dengan kerasnya kota ini. Jakarta sering memberikan harapan-harapan palsu yang ditampilkan dalam bentuk sinetron-sinetron di televisi. Sinetron memberikan kecenderungan bahwa Jakarta identik dengan gaya hidup yang borjuis dan hedonis -- hal ini memikat pemuda desa lari ke kota dan terciptanya urbanisasi.
          
Jakarta kota besar dengan jumlah penduduk yang sangat padat: jutaan jiwa. Penduduk Jakarta heterogen: asalnya dari berbagai daerah di Indonesia. Kearifan kota ini terdapat dari kemajemukan penduduknya. Sebuah entitas budaya yang menarik. Di dalam perbedaan penduduknya tersebut, Jakarta memberikan ruang untuk hidup bersama dengan damai di dalam masyarakat yang multikultur. 
          
Kota ini bagi saya adalah kenangan yang takkan terlupa. Saya dilahirkan dan dibesarkan di Jakarta dalam kurun waktu sekitar 19 tahun ini. Teringat ketika kecil dulu bermain sepakbola bersama teman-teman di lorong gang sekitar rumah, bukan di lapangan. Dalam kerasnya kehidupan Jakarta, masih terdapat bocah-bocah atau anak kecil yang riang gembira ketika bermain di taman kota atau mungkin di pemukiman padat penduduk -- ketika lahan terbuka hijau sangat minim di kota ini.
         
 Zaman saya SMP dulu, setiap hari berangkat dengan angkutan umum Metro Mini --transportasi publik berbentuk minibus warna oranye yang betuknya tidak pernah berubah sejak dulu-- yang saat ini sudah sangatlah tua dan tidak nyaman lagi. Permasalahan Jakarta terletak pada sistem transportasi kota yang kurang ideal. Mempunyai transportasi publik yang nyaman, aman, dan bersifat massal adalah mimpi besar kota ini. Saat ini hanya ada Bis Transjakarta atau dikenal sebutan Busway -- karena memiliki jalur khusus sendiri.
          
Kemacetan menjadi rutinitas di Jakarta. Disaat moda transportasi publik yang nyaman belum cukup untuk memenuhi kebutuhan masyarakat Jakarta keseluruhan, menggunakan kendaraan pribadi saat pergi ke kantor atau sekolah adalah pilihan yang banyak digunakan masyarakat. Jadi, tak heran kemacetan adalah bagian yang tak terpisahkan dari kota ini. 
          
Saya tidak bisa menyalahkan: "salah siapa ini?" karena saya juga seorang pengendara sepeda motor di kota ini -yang berarti menyumbang kemacetan pula- walaupun sekali-sekali saya bepergian menggunakan transportasi umum. Menjadi impian saya adalah ketika kota yang saya cintai ini memiliki transportasi publik yang nyaman dan keren serta dapat mengangkut orang banyak lalu terhubung satu sama lain: Bis Transjakarta - Subway Train - Monorail - dan Bis Kota ataupun Minibus seperti Metro Mini dan Kopaja yang ber-AC sebagai feeder transportasi publik utama.
          
Jakarta dikenal sebagai kota yang memiliki sejarah panjang. Jakarta adalah kota tua yang sudah berumur 484 tahun. Kota ini masih eksis hingga sekarang: Dari masih bernama Sunda Kelapa, Jayakarta, Batavia, dan saat ini Jakarta. Saya mencintai kota ini dengan gedung-gedung tua dan bersejarahnya. Di Tanjung Priok terdapat stasiun yang masih kekar berdiri bergaya arsitektur Belanda, begitu juga dengan Stasiun "Beos" Kota. Masih di daerah Kota kita bisa menemukan Museum Sejarah Jakarta (Fatahillah) yang dulunya dipakai sebagai Balai Kota zaman Hindia Belanda. 
        
 Secara historis, Jakarta juga menjadi saksi bagaimana Presiden Soekarno mencanangkan ide proyek mercusuar saat masa Demokrasi Terpimpin sekitar tahun 60-an. Dibangun komplek olahraga megah di zamannya: Gelora Bung Karno yang digunakan untuk Asian Games 1962 dan Ganefo. Lalu ada gedung DPR/MPR yang berada di Senayan saat ini -- dulu direncanakan sebagai gedung Conference NEFO (New Emerging Forces). Hotel Indonesia juga adalah satu bangunan bersejarah dan gedung tertinggi di zamannya kala itu. Tak lupa Monumen Nasional (Monas) dan Masjid Istiqlal yang artinya merdeka.
          
Menurut saya, kota yang sehat  adalah kota dimana gedung-gedung tua dan bersejarah itu dirawat dengan baik sebagai tanda kenangan peradaban. Karena Prof Eko Budihardjo -Guru Besar Arsitektur Undip- mengatakan: "A City without old buildings is just like a man without memory".
          
Jiwa seni budaya harus terdapat dalam suatu kota agar "ruh kejiwaan" kota tersebut bertambah hidup. Ditengah kebisingan kota dan kesibukan kaum urban, masih terdapat sebuah tempat menarik di Jakarta dengan ragam wacana kebudayaan: Taman Ismail Marzuki, Gedung Kesenian Jakarta, dan Teater Salihara (masih banyak lagi gedung serupa). Ditengah kemacetan lalu lintas Jakarta atau kepadatan penduduk, kesenian dan kebudayaan menjadi alternatif bagi masyarakat untuk melepas penat.
           
Selain kesenian dan kebudayaan, sepakbola juga ciri khas dari kota ini. Di Jakarta terdapat dua tim sepakbola besar dengan pendukung yang fanatik: Persija Jakarta dan Persitara Jakarta Utara. Selain itu, setiap kali ada Timnas Indonesia bermain di Stadion Utama Gelora Bung Karno, sangat banyak penonton yang hadir disana. Hal tersebut menunjukkan animo yang besar dari sebagian masyarakat Jakarta terhadap sepakbola.
           
 Jakarta bagi saya adalah kota yang unik ketika kesibukan sebagai "ruang kerja" masyarakat berdampingan dengan masalah transportasi dan tata kota Jakarta. Juga ruh-ruh kebudayaan, kesenian, dan olahraga serta nilai historis kota ini. Jakarta telah melekat di hati saya walaupun saat ini berada di Semarang untuk melanjutkan studi (Insya Allah kurang lebih selama 4 tahun). Dari Semarang saya takkan melupakan Jakarta: kota yang penuh kenangan.
            
Mungkin suatu saat nanti saya akan kembali ke kota ini, yang penuh romansa kenangan.
            
Band Koes Ploes pernah membuat lirik: 


Ke Jakarta aku kan kembali, walaupun apa yang terjadi.


Semarang, 17 September 2011




--Husni Mubarak















No comments:

Post a Comment