Bersatu Karena Sepakbola




Foto ini dipotret oleh: @aryhr
“Mentari pagi sudah membumbung tinggi/ Bangunlah putra putri ibu pertiwi/ Mari mandi dan gosok gigi/ Terbanglah garudaku/ Singkirkan kutu-kutu di sayapmu/Oh..Berkibarlah benderaku/ Singkirkan benalu di tiangmu/ Jangan ragu dan jangan malu/ Tunjukkan pada dunia/Bahwa sebenarnya kita mampu” (Iwan Fals – Bangunlah Putra-Putri Pertiwi)
Sepenggal lirik dari Iwan Fals tersebut sangat cocok untuk masyarakat Indonesia saat ini lantaran kecewa dengan hasil gagalnya Indonesia menyabet gelar juara Piala Suzuki AFF 2010. Kesedihan tak boleh terus menerus terjadi karena hal itu tak akan merubah keadaan. Indonesia memang belum pernah menjadi juara di ajang turnamen sepakbola paling bergengsi di Asia Tenggara ini. Indonesia baru mampu mencapai posisi runner up pada tahun 2000, 2002, 2004, dan kini 2010. Namun jangan berputus asa, mari bangkit kembali wahai pujangga Timnas Garuda dan masyarakat sepakbola Indonesia. Tidak ada keberhasilan tanpa melalui proses dan kegagalan-kegagalan merebut juara adalah sebuah proses pembelajaran untuk kemajuan di kemudian hari. Tidak ada keberhasilan melalui proses yang instan.
Indonesia memang gagal juara, namun antusiasme masyarakat Indonesia terbukti juara. Bulan Desember yang akan berganti ini menyisakan sebuah kenangan bagi sepakbola Indonesia. Masyarakat Indonesia berbondong-bondong datang ke Stadion Utama Gelora Bung Karno (GBK) untuk mendukung langsung kesebelasan Garuda bertanding. Kenaikan jumlah penonton terus bertambah dari mulai babak penyisihan hingga puncaknya saat partai final berlangsung, lautan manusia menyelimuti GBK. Orang-orang rela antri berjam-jam demi mendapatkan sebuah tiket. Namun, mereka yang tidak mendapatkan tiket juga tak berkecil hati, mereka masih bersemangat menyaksikan pertandingan walaupun hanya dari layar lebar di luar stadion.
Sayangnya, antusiasme masyarakat Indonesia untuk menyaksikan pertandingan sepakbola tidak diiringi dengan kualitas layanan yang memuaskan dari pihak penyelenggara yaitu PSSI. Manajemen tiket yang amburadul dan masih banyaknya calo berkeliaran menjadi masalah utama dalam penyelenggaraan Piala AFF 2010 ini. Maka tak heran, keributan dalam masalah distribusi tiket adalah tontontan di televisi yang sebenernya hal ini sangat memalukan. PSSI juga terkesan sangat komersil dengan menaikkan harga pada laga semifinal dan final. Dengan alih-alih untuk pelayanan yang lebih baik, tetapi yang terjadi nol besar. Kekacauan dan kerusuhan semakin menjadi ketika puncaknya mendekati partai final.
Jumat (17/12) setelah Sholat Jumat bersama empat orang teman lainnya saya bergegas ke GBK untuk membeli tiket semifinal leg kedua Indonesia VS Filipina. Ketika saya datang kira-kira jam 3 sore antrian saat itu sudah sangat panjang. Saya melihat di depan pintu X antrian massa sangat tidak teratur. Banyak orang termasuk seorang ibu yang saya lihat tidak bisa keluar setelah membeli tiket –masih berbentuk nota dan harus ditukarkan saat hari H-. Terpaksa mereka harus meloncat dari pagar diantara kerumunan massa agar bisa keluar dari kerumunan massa. Loket yang dibuka saat itu hanya dua loket di pintu X dan sangat tidak berbanding dengan banyaknya massa saat itu. Akhirnya, kurang lebih 2 jam setengah saya dan teman-teman yang lain baru bisa mendapatkan tiket.

Suasana antrian di loket timur Senayan

PSSI Tidak Pernah Belajar
Menjelang laga final, masalah distribusi tiket kembali berulang. Kali ini lebih parah daripada semifinal. Hari pertama dan kedua pembelian tiket, saya hanya menyaksikan pemberitaan terkait penjualan tiket dari Televisi. Saya melihat orang-orang antri sejak pagi namun pada siang hari tiket sudah habis terjual. Banyak orang yang tidak mendapatkan tiket dan kecewa, sebagian dari mereka ada yang protes ke kantor PSSI. Hari kedua, saya melihat dari televisi kericuhan di loket utara TVRI. Dan salah satu penulis @ZinePlak mas Iqbal Prakasa (@ColonelSeven) diteriaki calo oleh Satgas PSSI dan akhirnya mendapatkan bogem mentah dari Satgas tersebut karena mas @colonelseven ini protes terkait carut-marutnya pembelian tiket. Negeri macam apa ini ketika seseorang ingin berpendapat dan melakukan protes untuk kebaikan malah dibungkam, dengan cara kekerasan pula. Di mana keadilan itu?
Tampaknya PSSI tidak pernah belajar dari kejadian sebelumnya. Lalu penjualan tiket online kabarnya juga ricuh, tak transparan karena baru setengah jam tiket dinyatakan sold-out. Hari minggu (26/12), saya berangkat ke GBK setelah sholat shubuh. Bersama teman saya @adamapd, @bayunputra, @nfrofiq, dan Handika berniat berangkat lebih pagi berharap agar dapat antrian tiket yang tidak terlalu belakang. Namun apa daya, sampai disana sekitar jam 5 pagi saya melewati loket Masjid Al-Bina yang udah ramai sekali antriannya. Maklum saja, banyak orang yang sudah berada di GBK khususnya loket Al-Bina sejak malam. Sama halnya seperti salah seorang teman yang bernama Angga, Yandhi, dan Muadz yang sejak malam sudah berada diantara antrian tersebut.
Saya memutuskan untuk mengantri di loket timur Senayan, dan sekitar jam setengah 6 antrian sudah mencapai kolam renang GBK. Berjam-jam saya mengantri dan berdesakan dengan supporter lain. Kami masih menunggu dan terus menunggu loket dibuka. Walaupun hujan kami tetap menunggu loket dibuka yang akhirnya loket tak kunjung dibuka pula. Sekitar jam 10 ada insiden rusuh kecil di loket timur. Sekitar jam 1 atau setengah dua siang, kami baru diberitahu bahwa loket ini memang tidak dibuka, sekarang antrian hanya ada di dalam stadion. Orang yang telah mengantri berjam-jam jelas kecewa karena tidak ada pemberitahuan resmi daritadi, kita hanya menunggu tanpa kepastian.
Massa masuk lapangan Stadion GBK
Setelah itu saya dan teman-teman yang lain memutuskan untuk masuk ke dalam stadion. Kami masuk ke stadion dengan tertib dan selalu mengantri, tak seperti yang dibilang bapak Nurdin Halid bahwa penyebab kekacauan pembelian tiket di hari minggu itu karena tidak tertibnya supporter. Hal itu adalah kebohongan besar. Sampai dalam stadion, saya sudah melihat keributan. Banyak orang masuk ke dalam lapangan dan sebagian diantara mereka ada yang menghamburkan tiket atau kupon, saya tidak melihat jelas. Situasi sangat kacau, saya hanya melihat dari tribun VVIP. Akhirnya pihak kepolisian dapat menenangkan massa dan kami keluar stadion dengan membeli masing-masing satu buah tiket. Penjualan tiket dalam stadion ini dipandu langsung oleh polisi, bukan pihak panitia.
Saya menyesalkan aksi perusakan dan masuknya supporter ke lapangan GBK, namun apa boleh buat. Massa sudah terlanjur kesal dan emosi lantaran kekecewaan mereka terhadap pelayanan tiket amburadul seperti ini. Pahitnya lagi, seorang Nurdin Halid justru menganggap biang kerusuhan ini terjadi karena ulah seorang provokator. Saya kira tak ada provokator, yang ada hanyalah kekesalan dan kekecewaan terhadap manajamen tiket dari panitia.
Teman saya berucap “Gua hampir mati tadi desak-desakan, kita diperlakukan seperti layaknya binatang saja. Nurdin harus turun!”. Kejadian ini adalah perjuangan bagi saya, teman-teman dan supporter lainnya demi mendapatkan sebuah tiket untuk mendukung Timnas.


Lautan manusia di GBK

Persatuan Indonesia
Bulan Desember adalah bulan persatuan Indonesia. Mengapa demikian? Piala AFF 2010 ini telah menyita banyak perhatian bagi rakyat Indonesia. Dari yang murni mencintai sepakbola hingga yang biasa-biasa saja terhadap sepakbola mendadak menjadi sangat bersemangat mendukung Timnas Indonesia berlaga. Media pun sama, dari berita televisi, koran, hingga infotainmet –tak berhubungan dengan sepakbola- ramai-ramai memberitakan perjalanan Timnas Indonesia selama Piala AFF 2010 berlangsung.
Dari anak kecil, pemuda, hingga orang tua ramai-ramai mendukung Firman Utina dkk baik dari layar televisi maupun menyaksikan langsung di Stadion GBK. Dari rakyat jelata hingga Presiden RI sama-sama berada di GBK. Jika Anda sempat mendukung Timnas langsung di stadion, maka atmosfer kebersaman, persatuan dan kebangsaan amat sangat terasa di altar GBK kebanggan bangsa Indonesia.
Tak lupa para pejabat dan politisi berlomba-lomba cari simpati atas keberhasilan Timnas Indonesia. Ada salah satu politisi yang mengundang makan di kediamannya dan juga memberikan hibah sebidang tanah 25 hektar untuk sepakbola. Ada pula kyai yang menggelar Istighotsah di pesantrennya dengan mengundang Timnas langsung. Isu politisasi Timnas Indonesia menguat di media nasional. Maka tak heran, banyak orang menganggap hal non-teknis ini sebagai penyebab kekalahan Indonesia atas Malaysia di stadion Bukit Jalil (26/12).
Bangsa Indonesia adalah bangsa yang majemuk terdiri dari suku, agama, dan ras yang berbeda. Bangsa ini memiliki simbol burung Garuda dengan semboyan “Bhineka Tunggal Ika”. Bulan ini terlihat kita sejenak menghilangkan dulu simbol-simbol primordialisme dan bersama-sama kita kembali kepada “Merah Putih”. Kita melepaskan atribut kesukuan. Suporter-suporter klub Indonesia yang kadang tak akur pun bersatu meneriakan koor massal “Indonesia! Indonesia!” dan sama-sama menyanyikan lagu “Garuda di Dadaku”.
Melalui akun twitter @ArifSuyono, pemain Timnas Indonesia ini menulis: “Kita bisa lihat tawa pedegang asongan n pemimpin kita bersama-sama di GBK. Ini namanya satu bangsa. Aku rindu persaudaraan di GBK. Aku rindu persaudaran di GBK dimana tawa pemimpin kita n pedagang asongan melebur jadi satu. Sesuai semboyan bangsa. Bhineka Tunggal Ika.”
Saya sangat setuju dengan pernyataan mas @ArifSuyono, memang benar kemarin kita merasakan nuansa persatuan dan persaudaraan atas nama Sepakbola. Iya, sepakbola telah menyatukan kita semua, tak peduli kelas sosial yang kita sandang. Kita bergembira bersama mendukung tim kesayangan kita, Indonesia. Walaupun rasa pahit juga kita alami karena mekanisme pembelian tiket yang carut marut ini. Tapi setidaknya masyarakat Indonesia telah menunjukan solidaritas yang tinggi dan loyalitas terhadap Timnas Indonesia. Walaupun harga tiket bagi sebagian orang terasa mahal dan pelayanan pembelian tiket yang buruk, tetapi kita tetap menunjukan antusiasme untuk Indonesia.
Tiba saatnya pertandingan terakhir, final leg kedua Indonesia VS Malaysia di GBK. Disaksikan puluhan ribu jiwa di dalam stadion, ribuan orang di layar luar stadion, dan jutaan masyarakat Indonesia di layar kaca kita bersatu untuk Indonesia. Indonesia menang 2-1 atas Malaysia namun tetap gagal menjadi juara. Banyak yang kecewa namun kita tetap legowo menerima hasil akhir ini. Dan ada hal yang lebih penting bagi masyarakat Indonesia dari sekedar gelar juara apalagi politisasi elit politik. Hal yang lebih penting itu adalah di penghujung tahun 2010 ini kita bisa berkata, “Masyarakat Indonesia bersatu karena sepakbola”. Selamat tahun baru 2011, sepakbola telah menyatukan kita.

Jakarta, 31 Desember 2010 ditengah kemeriahan malam Tahun Baru
(@HMmubarak adalah Siswa SMAN 13 Jakarta, Mendadak Timnas dan berniat mengikuti perkembangan Sepakbola Indonesia tahun 2011)

DjakartArtmosphere: Arts For a Better Indonesia

G-Production kembali menyelenggarakan sebuah acara music berkualitas yang dberi nama Djakarta Artmosphere (Djaksphere) (20/11) di Balai Kartini, Jakarta. Djakarta Artmosphere 2010 merupakan pagelaran yang kedua kalinya. Sebelumnya, tahun 2009 event Djaksphere telah diselenggarakan dengan mengusung tema egaliter, menampilkan Efek Rumah Kaca , Sore, White Shoes and The Couples Company, Ebiet G Ade, Doel Soembang, dan musisi-musisi hebat lainnya. Djaksphere hadir sebagai perlawanan dalam industri musik yang menyajikan genre musik yang seragam, dapat kita lihat di Televisi hari ini. Djaksphere menghadirkan musik yang berkualitas, inspiratif dan juga menghibur.


..

Tahun ini, Djaksphere 2010 mengusung tema yaitu “Lintas Generasi, Lintas Kreasi” yang bermaksud kolaborasi unik antara musisi senior dengan musisi muda yang berasal dari aliran musik yang berbeda seperti Rock, Blues, Pop, dan Jazz. Musisi yang terlibat adalah Oddie Agam berkolaborasi dengan Bonita & The Husband, The Trees And The Wild, dan juga Mocca. Lalu Utha Likamahuwa dengan Leonardo, Gugun Blues Shelter satu panggung bersama lady rocker Indonesia pertama yaitu Syilvia Saartje. Dan penampilan terakhir adalah kolaborasi yang sangat ditunggu-tunggu dari Godbless bersama Navicula, band asal Bali.


Penampilan pertama yaitu Oddie Agam bersama Mocca, Bonita & The Husband, The Trees & The Wild membawakan lagu-lagu hits ciptaan Oddie Agam seperti “logika”, “Surat Cinta”, dan juga medley “Antara Anyer dan Jakarta” disandingkan dengan lagu “Aku Cinta Padamu”. Sebuah lagu ciptaan Utha Likamahuwa berjudul “Puncak Asmara” juga turut dibawakan mereka. Dahsyat!


Selanjutnya ada Utha Likamahuwa dengan Leonardo Ringo, yang juga tercatat sebagai drummer di band Zake and The Popo. Penonton tampak bernyanyi ketika lagu “Esok Kan Masih Ada” dinyanyikan. Walaupun sudah berumur, tetapi semangat Utha Likamahuwa patut diacungi jempol.


Panggung berikutnya adalah kolaborasi dahsyat dari band blues ternama Indonesia yaitu Gugun Blues Shelter bersama Sylvia Saartje, tembang “Jakarta Blue Jeansku” yang populer pada era 80-an menjadi pembuka. Sedangkan lagu “Turn It On” dari Gugun Blues Shelter menjadi penutup kolaborasi ini dimana banyak penonton terheran-heran mendengar suara Sylvia Saartje yang melengking hebat.


Terakhir, sekitar pukul 11 lewat, Navicula naik ke atas panggung. Mereka langsung menggeber dengan lagu “menghitung mundur” dan dilanjutkan dengan lagu “Everyone Goes To Heaven” dan Juga “Metropolutan”. Terkadang sang vokalis, Roby sering melakukan orasi di setiap pergantian lagu. Maklum saja, lagu-lagu dari band asal Bali ini lebih banyak mengambil tema persoalan lingkungan dan sosial.


Dan akhirnya sang suhu Rock Indonesia yang ditunggu-tunggu muncul ke atas panggung, yaitu GodBless. Mereka membawakan tembang yang tidak populer bagi anak zaman sekarang seperti “N.A.T.O (Not Action Talk Only)”, “Anak Adam” serta “Menjilat Matahari”. Setelah itu, kolaborasi hebat antara Navicula dengan Godbless, membawakan lagu-lagu hits mereka seperti “Kehidupan” dan juga “Rumah Kita” yang disambut koor masal penonton.
Sebagai puncak acara, “Semut Hitam” dari GodBless menutup event Djaksphere 2010. Acara seperti ini sayang untuk dilewatkan, sampai jumpa di Djaksphere 2011.


- @HMmubarak ( Husni Mubarak )

Kemenangan-Kemenangan Tim Garuda

Oleh: Husni Mubarak

Sorak sorai kegembiraan suporter Indonesia membahana di Stadion Utama Gelora Bung Karno (SUGBK) di setiap pertandingan Tim nasional Indonesia. Mereka terlihat sangat senang atas hasil yang dicapai oleh Timnas Indonesia. Euforia kemenangan Indonesia akhirnya saya rasakan pada laga babak penyisihan terakhir antara Indonesia VS Thailand (7/12). Gegap gempita pertandinan tersebut masih membekas di ingatan saya. Hari itu pertama kali saya datang ke SUGBK untuk menyaksikan pertandingan sepakbola Tim nasional Indonesia. Hasilnya sangat memuaskan bagi saya, Indonesia berhasil menumbangkan raksasa Asia Tenggara, Thailand dengan skor 2-1. Dalam kurun waktu 12 tahun terakhir Indonesia tak pernah menang melawan Thailand. Namun sejarah baru datang, berkat dua gol penalti dari Bambang Pamungkas , akhirnya Indonesia mampu merobek gawang Negeri Gajah Putih itu dihadapan kurang lebih 65.000 penonton. Dua gol penalti tersebut mengantarkan Indonesia ke babak semifinal dan gagalnya Thailand untuk menembus babak semifinal.

Sebelumnya, Indonesia mampu menumbangkan lawan satu grup lainnya seperti menghadapi Malaysia dengan skor 5-1, pada hari Rabu (1/12) dan juga remukkan Laos 6-0 Sabtu malam (4/12). Tiga kali kemenangan dalam babak penyisihan grup A Piala AFF 2010 adalah prestasi besar bagi Timnas Indonesia. Tiga kali kemenangan mengantarkan Timnas Indonesia ke babak semifinal dengan 13 gol dan poin sempurna yaitu 9 poin. Kemenangan ini adalah berkat daya juang seluruh pemain Timnas Indonesia, khususnya kontribusi dari pemain seperti Christian Gonzales, Irfan Bachdim, Oktovianus, Bambang Pamungkas, Firman Utina, dan juga Arif Suyono yang mampu bermain dengan gemilang. Tak lupa kita patut berterima kasih kepada pelatih Alfred Riedl lewat sikapnya yang tegas dan menjunjung tinggi kedisiplinan.

Kamis malam (16/12) disaksikan sekitar kurang lebih 70.000 pendukung Tim Garuda yang hadir pada laga semifinal Piala AFF 2010 di SUGBK, Jakarta. Timnas Indonesia kembali menang. Kali ini menghadapi Filipina dengan skor 1-0 berkat sebuah sundulan dari pemain naturalisasi asal Uruguay, Christian Gonzales. Pemain yang mendapat pujian adalah bek Zulkifli, berkat upaya penyelamatan penting darinya, Filipina gagal mencetak gol ke gawang Markus Horison. Langkah Indonesia melaju ke babak final semakin terbuka lebar. Masih ada satu pertandingan lagi di leg kedua babak semifinal melawan Filipina. Jika Tim Garuda kembali lagi menang, maka tiket final akan segera di dapat. Keberhasilan Timnas Indonesia sangat pantas kita apresiasi dan rasa syukur kita bahwa Indonesia memiliki supporter yang tak gentar memberikan semangat kepada 11 pahlawan kita, pemain-pemain Timnas Indonesia. Akankah euforia kemenangan ini bertahan sampai berakhirnya Piala AFF 2010? Kita terus berdoa agar Timnas Indonesia mampu meraih kemenangan-kemenangan selanjutnya dan akhirnya Garuda akan terbang tinggi diantara cakrawala.

Jakarta, 17 Desember 2010







Dua Album Terbaik Indonesia 2010 Versi Saya Pribadi












Oleh: Husni Mubarak*

Banyak rilisan album lokal di tahun 2010 ini. Namun saya hanya mengambil dua saja yang menurut saya terbaik dari album-album yang baik lainnya, yaitu “Vakansi” White Shoes And The Couples Company dan juga “Ode Buat Kota” dari Bangkutaman. Semoga penilaian saya ini dapat diterima khalayak, dan mohon maaf jika masih terdapat sisi subjektif dan kurang objektif dalam penilaian kedua album ini. Sifatnya hanya versi pribadi saja bukan atas nama golongan dan kelompok manapun. hehehe :)


1. “Vakansi” dari White Shoes and The Couples Company

White Shoes and The Couples Company (WSTACC) hadir kembali dengan “Album Vakansi” setalah album sebelumnya yaitu “self titled” dan “skenario masa muda” dan juga album kompilasi lainnya. Menurut saya “Album Vakansi” ini dikemas sangat apik dari segi kualitas musik dan juga artwork yang terdapat di dalam album ini. WSATCC mencoba menceritakan perjalanan mereka selama ini melalui “Vakansi” ini. Keistimewaan album ini juga tergambar dari kerjasama dan kolaborasi yang dilakukan dengan seniman-seniman lain seperti Fariz RM, Oele Pattiselanno, dan juga ada karya ciptaan Ade Firza Paloh (mantan vokalis Sore) dan juga Oomleo (personil Goodnight Electric). Masih ada nama lain yang berjasa dalam album ini yaitu David Tarigan (Aksara Records) dan Muhammad Asranur –yang juga seorang fotografer-. Dari segi musikal, WSATCC tidak usah diragukan lagi.

Awal lagu ini kita sudah diajak untuk “Berjalan-jalan” dari Pulau Bintan, Surabaya, Bali, Irian Jaya atau Papua sampai ke Amerika. Intro yang sangat menarik. Lalu ada lagu “Zamrud Khatulistiwa” yang bercerita tentang alam Nusantara.

Sebuah lagu gubahan Fariz RM yaitu “Selangkah Ke Seberang” yang diaransemen ulang oleh WSATCC adalah lagu yang paling asyik di album ini, lagu favorit saya. Lagu “Kisah dari Selatan Jakarta” juga tak kalah asyik, lagu ciptaan Oomleo dari Goodnight Electric terdengar syahdu dengan lirik yang sangat puitis, saya sendiri tak mengerti maksud dari lirik yang terasa “berat” ditelinga.

Tak lupa lagu berjudul “Vakansi” yang terdapat dalam lagu ini sangat bagus. WSATCC mencoba bekerjasama dengan gitaris jazz Indonesia om Oele Pattiselano, melodi gitar yang sangat memikat dari om Oele Pattiselano dan juga Ale Husein tentunya. Sangat cocok didengar di pada saat hari minggu pagi, dimana kita dapat bersantai nikmati hari yang cerah ini.

Sebagai pamungkas dari seluruh lagu-lagu yang ada di album ini, WSTACC menampilkan lagu “Matahari” yang ditulis liriknya oleh David Tarigan dari Aksara Records, label Indie yang sudah tutup. Liriknya berbahasa Inggris namun diselipi kata-kata dari Bahasa Indonesia seperti “no more pretend, no pura-pura” dan juga musik dengan nuansa Afrika menjadi kearifan tersendiri dalam lagu ini. Lagu penutup yang dahsyat.

WSTACC sendiri dikenal sebagai band yang mengusung lagu dan style era 70an dan 80an, dengan musik bergaya jazz. Walaupun demikian, musik WSATCC tidak hanya untuk diperdengarkan oleh kalangan tertentu saja. Musik dari album asyik untuk didengar oleh semua kalangan, melewati lintas batas usia, genre musik, profesi dan sebagainya. Semua orang boleh mendengar dan merasakan musik dari band berbakat Indonesia ini. Disarankan didengar ketika sedang bersantai atau berlibur di musim kemarau yang terik.

Sebagai penutup, album ini menyuguhkan musik berkualitas yang tidak seragam seperti di Televisi dan album ini sekiranya mendekati sempurna jika tidak ingin dibilang sempurna. Saya ingin mengatakan bahwa tepat sekali jika album “Vakansi” dari WSATCC menjadi album terbaik tahun 2010 :)

Songlist:

1. Berjalan-jalan

2. Zamrud Khatulistiwa

3. Senja Menggila

4. Selangkah Keseberang (Fariz RM cover)

5. Rented Room

6. Kampus Kemarau

7. Sans Titre

8. Hacienda

9. Masa Remadja

10. Ye Good Ol’days

11. Vakansi

12. Kisah Dari Selatan Jakarta

13. Matahari

Enjoy :)

2. “Ode Buat Kota” dari Bangkutaman

’ Lirik-lirik pada album ini seperti akumulasi cidera dan kopi hitam dari berbagai peristiwa sehari-hari yang “harus” dialami. Ini kota Jakarta. Wahyu Nugroho dan J.Irwin menceritakannya.”

Trio Indie Pop asal Yogyakarta yang digawangi oleh Wahyu “Acum” Nugroho (Bass/Vokal), Dedyk Nugroho (Drummer) dan J Irwin (Gitaris) ini adalah band Indie fenomenal. Kancah bermusik mereka sudah dikenal luas sejak satu dekade silam dari kota gudeng Yogyakarta. Kini mereka telah menetap di Jakarta dan album ini membuat nama band ini melambung semakin besar. Album Ode Buat Kota adalah sebuah sindiran terhadap kota Jakarta, tempat dimana mereka tinggal saat ini sebagai pekerja.

Personil Bangkutaman sendiri dikenal mempunyai profesi yang berbeda, seperti Acum seorang Jurnalis di Majalah Traxyang juga jebolan Universitas Sanata Dharma Yogyakarta jurusan Biologi. Lalu ada Dedyk, lulusan Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta bekerja sebagai pengacara. Terakhir J.Irwin, alumnus jurusan Sastra Inggris Universitas Sanata Dharma Yogyakarta yang saat ini bekerja sebagai editor buku.

Kepenatan dalam kehidupan kota jakarta digambarkan dalam lagu “penat” atau “menjadi manusia”, lalu terkadang kota ini terkesan tidak manusiawi dimana banyak orang bersikap sangat individualis dan kurang humanis, lagu “menjadi manusia” ciptaan J.Irwin menggambarkan hal tersebut.

“Menjadi manusia bukanlah hal yang mudah. Terkadang perbuatan baik tidak selalu ditanggapi dengan baik dan perbuatan jahat tidak selalu ditanggapi dengan perbuatan jahat,” tulis J.Irwin dalam note song ”Menjadi Manusia”.

Tak lupa transportasi adalah masalah krusial di kota Jakarta. Kemacetan menjadi polemik panjang. Lalu bagaimana personil Bangkutaman menghadapi situasi ini? Sebagian dari mereka lebih memilih KRL sebagai transportasi alternatif yang nyaman, murah, dan cepat sampai tujuan, yang tergambarkan di nomor “Train Song” ciptaan J.Irwin pula. Ditulis ketika menunggu KRL ekonomi AC bernama Ciujung Malam jurusan Dukuh Atas-Serpong yang berangkat sangat larut malam, yaitu pukul 23.05. Suara kereta diawal lagu ini direkam langsung dari KRL Ciujung Malam tersebut.

Masih banyak lagu lain di album ini yang sangat menarik. Sebagai klimaks, dengarkan “Catch Me When I Fall” dan “Ode Buat Kota” yang menjadi hits single di album ini. Ode tak selamanya pujian, dalam pelajaran Bahasa Indonesia. Bangkutaman mencoba membuat ode dalam album sebagai lukisan sinis untuk kota ini tetapi tetap menarik untuk didengar.

Jadi, album “Ode Buat Kota” pantas disejajarkan atau minimal album terbaik nomor dua tahun 2010 setelah “Vakansi” dari White Shoes and The Couples Company.

Songlist:

1. Ode Buat Kota

2. Jalan Pulang

3. Hilangkan

4. Cofee People

5. Alusi

6. Penat

7. Train Song

8. Dibatas Lelah

9. Menjadi Manusia

10. Catch Me When I Fall

Ditulis di Jakarta, minggu pagi 5 Desember 2010 pukul 06.45 dan selesai pukul 8.19 Waktu Indonesia Barat

* penulis adalah Siswa SMA 13 Jakarta kelas 12, menyukai music”cutting edge” dan penggemar band Indie khususnya Bangkutaman dan Efek Rumah Kaca


Perjalanan Ke Bandung dan Pasar Seni ITB 2010

Oleh: Husni Mubarak


Hari minggu 10 Oktober 2010 menjadi tanggal yang unik bagi sebagian orang. Ya tanggal 10-10-2010 yang hanya sekali terjadi di tahun 2010 itu. Banyak orang mengadakan pernikahan atau menggelar event di tanggal cantik tersebut. Hari itu, saya bersama beberapa teman memutuskan untuk pergi ke Bandung untuk menyaksikan event 4 tahunan sekali dari Fakultas Seni Rupa dan Desain ITB (FSRD ITB) yaitu Pasar Seni ITB ke 10 tahun 2010 di Jalan Ganesha nomor 10 Bandung. Serba 10 memang kelihatannya.




Pagi dini hari sekali dikala shubuh, ketika udara sejuk menyentuh seluruh kulit, saya dan teman saya, Muadz bergegas menuju stasiun Gambir untuk bertemu teman-teman lain yang ikut ke Bandung yaitu Adam, Angga, Didik, Fariz, dan Handika. Ternyata kakaknya Muadz ingin menyaksikan Pasar Seni 2010 juga bersama rombongan mahasiswa Institut Kesenian Jakarta (IKJ). Sampai di Gambir kurang lebih jam 5 shubuh, saat itu sudah bertemu dengan Handika, yang lain masih di jalan menuju stasiun. Tepat pukul setengah 6 kami sudah berkumpul dan siap untuk naik Kereta Api Argo Parahyangan kelas Bisnis jam 5.45 –di jadwal- walaupun kereta tersebut tak datang tepat waktu. Kita bisa maklum karena sudah menjadi hal biasa di Indonesia bahwa jadwal kereta api sering mengalami keterlambatan.

Kereta Api Argo Parahyangan

Sekitar pukul 6 pagi, KA Argo Parahyangan akhirnya meninggalkan Stasiun Gambir dan panormana Monas di sekitarnya menuju Bandung. Suara kereta api “Tut Tut Tut” perlahan terdengar lembut, melaju melewati stasiun-stasiun seperti Gondangdia, Cikini dan Manggarai. Dan kereta pun berhenti sejenak di Stasiun Jatinegara, banyak penumpang naik dari stasiun tersebut sehingga gerbong kereta api penuh terisi penumpang. Perjalanan lalu dilanjutkan melewati daerah Bekasi, Karawang, Cikampek, Purwakarta, Padalarang, Cimahi dan akhirnya berhenti di tujuan akhir yaitu Bandung.

“Sudah sampai Bandung nih! Ayo turun,” Komando saya kepada teman-teman yang sedang asyik di dalam gerbong. Kami sampai Stasiun Bandung sekitar pukul 9.15. Sampai stasiun kita langsung ke loket penjualan tiket, kami membeli tiket untuk pulang. Muadz yang membeli tiket tersebut.

“Eh tiketnya Cuma ada 4 nih, yang lain habis. Kita kan bertujuh, bagaimana?” Tanya Muadz. “Yaudah enggak apa-apa, dibeli saja, 3 orang lainnya beli tiket berdiri ketika mau berangkat,” Jawab saya. Akhirnya kami memutuskan untuk membeli tiket 4 dulu saja, sisanya menyusul tiket tanpa tempat duduk. Di akhir pekan, Kereta Argo Parahyangan memang banyak penumpang, karena banyak warga Jakarta yang berlibur ke Bandung.

Perjalanan kami lanjutkan menuju alun-alun Kota Bandung untuk sarapan pagi. Saya sebagai pemimpin perjalanan saat itu. Berjalan kaki dari Stasiun Bandung menuju alun-alun lumayan lelah juga, melewati ruko dan pasar di jalan Otista, Bandung. Sampai di alun-alun kami sarapan pagi, ada yang makan soto bandung dan nasi goreng. Setelah sarapan pagi, kami memutuskan melanjutkan perjalanan dan ingin singgah di museum Konferensi Asia Afrika (KAA) yang ternyata museumnya tutup hari sabtu dan minggu. Karena tutup, kami jalan kaki kembali dari jalan Asia Afrika menyusuri jalan Braga hingga jalan Wastukencana depan Balaikota Bandung. Di jalan Braga kami melihat iring-iringan rombongan mobil Menteri Kebudayaan dan Pariwisata, Bapak Jero Wacik yang akan meresmikan Pasar Seni ITB. Bapak Jero Wacik ini juga alumni ITB sekitar tahun 70-an.



Di Depan Museum Asia Afrika

“Kapan nih jalan kakinya? Gua udah capek!” keluh Didik. Akhirnya kami sampai di depan Balaikota Bandung juga setelah berjalan kaki kurang lebih 500 meter dari alun-alun kota Bandung. Selanjutnya kami menggunakan bis Damri menuju Dago yang melewati daerah sekitar kampus ITB. Jalanan Bandung hari itu sangatlah padat dan macet sekali Seni juga. Sambil menikmati pemandangan Kota Bandung, saya baru sadar ternyata bis Damri tak lewat jalan Dago (Jl.Ir.H.Juanda) dan berbelok ke Jalan Dipatiukur karena jalan Dago ditutup. Penyebabnya adalah Pasar Seni ITB. “Yang mau ke ITB turun disini, nanti jalan kaki sedikit. Jalan Dago ditutup!” Teriak kondektur bis Damri tersebut.



Jalan Ganesha

Kamipun jalan kaki dari jalan Dipatiukur melewati jalan-jalan kecil menuju jalan Dago dan Ganesha. Akhirnya pukul 11 kami sampai juga di jalan Ganesha tempat perhelatan Pasar Seni ITB. Sampai disana, suasana sudah sangatlah ramai. Untuk berjalan kaki saja sangat susah. Melewati jalan Ganesha menuju gerbang utama kampus ITB kita diberikan suasana yang tak biasanya, jalan Ganesha berubah menjadi jalan seni. Ada instalasi karya seni dari bambu, lalu yang mengejutkan adalah dipamerkan tabung gas di jalan Ganesha yang menjadi simbol ledakan akhir-akhir ini di Indonesia. Seni pertunjukan juga ditampilkan dijalan seperti musikalisasi puisi yang ditampilkan oleh para seniman. Dipajang pula salah satu sepeda antik di jalan tersebut.





Sepeda Antik

Sampai di pintu gerbang utama, saya bertemu dengan Tiwi. Lalu kami semua masuk ke area Pasar Seni ITB 2010. Area Pasar Seni ITB memang seperti lautan manusia. Masyarakat kota Bandung dan kota-kota lainnya seperti Jakarta tumpah ruah datang ke Pasar Seni. Begitu kami masuk melalui pintu gerbang pertama, kami disambut oleh patung “Tiga Mojang” dari Perumahan Harapan Indah yang kini telah dibongkar karena diprotes oleh salah satu ormas keagamaan. Patung ini ditampilkan di venue Pasar Seni ITB adalah bentukdari apresiasi karya seni yang terlupakan. Patung yang dinilai oleh ormas tersebut mengarah kepada pornografi tanpa melihat estetika dari karya seni tersebut.

Patung Tiga Mojang

Berjalan saya dan teman-teman lain menyusuri stand-stand ditengah keramaian pengunjung yang ada di Pasar Seni ITB. Acara Pasar Seni ini adalah suatu acara dengan konsep menjual berbagai karya seni dari para seniman, merchandise atau souvenir, dan juga stand makanan nusantara. Tidak hanya itu, di dalam pasar seni juga terdapat karya seni instalasi yang bisa dilihat di jalan Ganesha dan juga di Kampus ITB. Seperti, karya instalasi sepeda ontel yang disusun menjadi bentuk piramida.

Gambar Piramida Sepeda

Hal yang lebih menarik lagi adalah dibangun wahana-wahana oleh mahasiswa FSRD ITB bekerja sama dengan mahasiswa fakultas lain. Sebagai contoh, wahana area jamming adalah kerjasama antara mahasiswa Seni Rupa dengan mahasiswa Teknik Elektro ITB dimana dalamdi sekitar wahana tersebut, sinyal telepon seluler tidak dapat berfungsi dengan baik. Wahana ini mengingatkan kita tentang pentingnya komunikasi secara langsung antara individu.

Dengan adanya kecanggihan teknologi seperti telepon seluler, masyarakat modern kerap kali melupakan bentuk komunikasi yang fundamental yaitu berinteraksi secara langsung. Ada pula wahana “Kamar Vibrator”, sebuah ruangan dengan simulasi gempa, kerjasama antara mahasiswa Seni Rupa dengan Teknik Mesin. Sayangnya, kami tidak masuk kedalam wahana apapun lantaran padatnya pengunjung yang datang.

Di dalam Pasar Seni 2010 juga digelar pertunjukan musik di dua zona yaitu mengingatkan dan melupakan. Zona mengingatkan berada di depan Taman Ganesha dan Masjid Salman, menghadap pintu gerbang kampus ITB. Di zona mengingatkan ini tedapat perfomer Zake Kasheli dkk. Lalu berada diujung area Pasar Seni yaitu zona melupakan, dimana perfomer di panggung tersebut adalah band-band era 90-an seperti Krakatau, The Panas Dalam, dan P-Project. Saya sempat menyaksikan Candil ex vokalis Serieues berkolaborasi dengan band Krakatau yang menyanyikan lagu Sunda yaitu “Panon Hiedung”.

Selain pagelaran musik, pengunjung juga dapat melihat pawai budaya juga terjadi di pagelaran Pasar Seni 2010, dari bentuk kesenian tradisional topeng hingga pawai dari sekelompok mahasiswa nyentrik yang mengenakan kostum olahraga, mereka adalah mahasiswa Institut Kesenian Jakarta.


Pawai Budaya Tradisional

Sekitar pukul 14.00 pengunjung di Pasar Seni 2010 bukannya bertambah sepi, melainkan bertambah ramai. Konon katanya, Pasar Seni yang diadakan 4, 5, atau 6 tahun sekali ini dapat mendatangkan jumlah pengunjung hingga 200 ribu jiwa. Angka yang sangat mengagumkan untuk pagelaran seni dan budaya selama 1 hari ini.

Lelah saya dan teman-teman berkeliling area Pasar Seni 2010, ada diantara kami yang membeli souvenir/merchandise original dari Pasar Seni seperti kaos atau gantungan kunci dan pin. Sebelum pulang rombongan bertambah satu yaitu Cica, teman kami juga dari Jakarta yang baru sampai di Pasar Seni 2010.


Suasana Pasar Seni ITB 2010

Sekitar pukul 15.30 kami berjalan keluar dari Labtek V menuju pintu gerbang utama kampus ITB. Setiap pagelaran Pasar Seni ITB yang membuat begitu khas yaitu padatnya kampus ITB karena ramainya pengunjung. “Mau keluar area saja susah! Kita jalan bagaikan semut aja,” Mungkin itu ungkapan yang terlintas dari para pengunjung ketika menghadapi susahnya jalan-jalan di area Pasar Seni ITB. Alhasil, kami membutuhkan waktu sekitar 30 menit untuk berjalan kaki dari Labtek V yang berada dibagian belakang arena ke pintu gerbang utama lalu berjalan melintasi Jalan Ganesha menuju Jalan Ir.H.Djuanda (Dago).



Ramainya pengunjung Pasar Seni 2010

Setelah sampai di jalan Dago sekitar pukul 16.00, kami langsung berangkat ke Stasiun Bandung menggunakan angkot jurusan Dago-St.Hall. Satu hal yang membuat perjalanan pulang ini memicu adrenalin –agak sedikit lebay- adalah kami tiba di stasiun yaitu sekitar pukul 16.25, waktu yang sangat mepet sekali dimana 5 menit lagi kereta akan diberangkatkan ke Jakarta. Akhirnya saya, Muadz, Handika, Adam, Faris, dan Angga pulang ke Jakarta dengan menggunakan Kereta Api Argo Parahyangan kelas bisnis kembali. Sedangkan Didik dan Cica memutuskan untuk menumpang bis dan Tiwi bersama orang tuanya naik mobil pribadi.

Jakarta malam hari telah menyambut saya dalam laju kereta api. Tak terasa laju kereta api telah sampai Kota Bekasi lalu Jatinegara. Suasana keramaian ibukota Jakarta kembali terngiang di benak saya. Turun di Stasiun Jatinegara telah menyadarkan saya akan kerasnya kehidupan ibukota. Para pedagang yang berjualan, suara mesin angkot dan metromini, suara kaki yang berlalu lalang menambah deret panjang ciri khas Jakarta. Suatu perbedaan yang mencolok ketika saya membandingkan dengan suasana Pasar Seni ITB. Sebenarnya saya masih ingin berlama-lama di Kota Kembang tapi tuntutan UTS siswa kelas 3 SMA di hari esok harus dilaksanakan. Jakarta memang tak seramah Bandung, menurut saya. Tetapi disinilah saya harus menjalani rutinitas. Mengutip sebuah lirik dari Koes Ploes “Ke Jakarta aku kan kembali, walaupun apa yang terjadi”. Jalan pulang dari Jatinegara menuju Tanjung Priok sudah saya lewati menggunakan bis kota yang penuh sesak. Akhirnya saya kembali kerumah. Istirahat lalu bersiap untuk hari esok, hari Senin kala itu.

Monas; Jakarta Aku Kembali

Jakarta, 31 Oktober 2010

Panorama Jalanan 3 Kota: Ragam Peristiwa

Jalan Ganesha, Bandung -menjadi jalan seni- (Ketika Pasar Seni ITB 2010)


Jalan Asia Afrika (Depan Gedung Konferensi Asia Afrika)

Jalan Purnawarman Bandung (Depan CCF dan BEC Bandung)

Jalan Asia Afrika, Bandung (Depan Masjid Raya Bandung)

Jalan Asia Afrika, Bandung

Jalan Asia Afrika, Bandung (Terlihat Hotel Savoy Homan)

Jalan Bandara Seokarno-Hatta, Cengkareng, Jakarta/Banten
Pramuka Underpass (Jalan Pramuka)
Jalan Jend. Ahmad Yani (Persimpangan Pramuka)
Jalan Jend. Ahmad Yani (Dibawah Jalan Tol Priok-Cawang)
Jalan Raya Cilincing (Insiden Mbah Priok)

Jalan Raya Cilincing (Insiden Mbah Priok

Jalan Medan Merdeka Barat

Jalan Medan Merdeka Barat
Kemacetan Jakarta
Jalan Malioboro, Yogyakarta
Depan Mall Malioboro, Yogyakarta
Jalanan yang padat (Jalan Malioboro)
Becak di Jalan Malioboro, Yogyakarta



Semua foto oleh Husni Mubarak menggunakan kamera HP E-63 kecuali foto terkait tragedi Mbah Priok difoto oleh Rindu Rescuemha.


Kecelakaan Mobil Di Depan Halte ITC

Ketika saya ingin ke Kebon Raya Bogor menggunakan Kereta Api dari Stasiun Kota.
Saya pergi ke halte Bus TransJakarta di ITC Cempaka Mas untuk memulai perjalanan menuju Stasiun Kota. Ketika saya sampai, ada sebuah insiden yang mengagetkan saya, yaitu sebuah mobil Honda Jazz mengalami kecelakaan di seberang halte Bus Transjakarta. Mobil itu tiba-tiba sudah melawan arah ke arah lampu merah Senen. Berikut foto-foto yang saya jepret waktu itu:







Semoga berkurang kecelakaan lalu lintas. Amin

My Experience with Journalism

By Husni Mubarak

It has been 2 years ago when I visited Kompas-Gramedia building at South Palmerah, Jakarta for the first time. I went to that building to attend workshop of journalism which it was presented by “Warta Kota Muda”, a teenager rubric on Sunday in Warta Kota daily newspaper. I was so glad that I can get some knowledge about journalism and photograph at the workshop. That event was interesting and after that, I’m so interested with Journalism world. So, I have some dreams that in the future I want to be a Journalist and I write many articles for mass media.

My first experience was visited publishing building when I had a chance for come to Kompas Gramedia Building. I was very pleased that I can visit that building. I think the building of media office was attractive for me but I felt disappointed when I didn’t enter the publishing room, because newspaper printing production is only done at night. So, we were prohibited to enter that room. Okay that’s no problem, I was still happy.

In December 2009, I had my first chance with my schoolmates to write an article for a newspaper. My school, SMAN 13 Jakarta held an event “Declaration of Against Corruption”. After the event, we got an offer to write in Kompas Muda, (teenager rubric) in Kompas newspaper. Finaly, we wrote about “Declaration Against Corruption” and my friends, Tiwi drew a comic with anti corruption theme for Kompas Muda. Our project in “Kompas Muda” was successful and it was published on Friday, 11th December 2010.

After Kompas Muda, there were unexpected thing for me; I had a project again in media. At the time, I had a chance to be a school journalist for Hai Magazine to write articles about senior high school students’ lifestyle and others to “My School Page” rubric

A Journalist from Hai Magazine, Rahmat Budiman (Mate) gave me an opportunity to join school Journalist. Mate is one of alumni SMAN 13 Jakarta. I was so happy to hear that I would write articles once every month for Hai Magazine. I got many friends and experiences after joined “My School Page” Hai as one of the crew or school journalist. At this time, I decide to stop being the crew because I am in twelfth grade now.

Other experience that I got from journalistic was when I made an Electronic-Paper (E-Paper) Magazine, which it called Tabasco Magazine. I made it with my schoolmates (again), and in that project, I become the Editor In Chief of Tabasco Magazine. Tabasco’s name is the acronym of “Teenage Art Breakthrough and Social Company”. The magazine was concern to discuss and write about surrounding teenage life. We distributed the magazine was not based on printable version, but we used Internet via E-Paper. Alhamdulillah, we have launched that magazine for first edition in April 2010, but the project wouldn’t be continued until this time, we just made the first edition.

So, there are a lot of experiences that make me so interested about writing and journalism world. At this time, I have a dream to be a successful journalist. I want to continue my studies in department of International Relations or Communication, Faculty of Social and Political Sciences UGM, after that working as a journalist at international and politics desk in national newspaper or magazine. I also have a dream to be media entrepreneur in the future.

Jakarta, 30th August 2010