Foto ini dipotret oleh: @aryhr
Suasana antrian di loket timur Senayan
Massa masuk lapangan Stadion GBK
Lautan manusia di GBK
Foto ini dipotret oleh: @aryhr
Suasana antrian di loket timur Senayan
Massa masuk lapangan Stadion GBK
Lautan manusia di GBK
Oleh: Husni Mubarak*
Banyak rilisan album lokal di tahun 2010 ini. Namun saya hanya mengambil dua saja yang menurut saya terbaik dari album-album yang baik lainnya, yaitu “Vakansi” White Shoes And The Couples Company dan juga “Ode Buat Kota” dari Bangkutaman. Semoga penilaian saya ini dapat diterima khalayak, dan mohon maaf jika masih terdapat sisi subjektif dan kurang objektif dalam penilaian kedua album ini. Sifatnya hanya versi pribadi saja bukan atas nama golongan dan kelompok manapun. hehehe :)
1. “Vakansi” dari White Shoes and The Couples Company
White Shoes and The Couples Company (WSTACC) hadir kembali dengan “Album Vakansi” setalah album sebelumnya yaitu “self titled” dan “skenario masa muda” dan juga album kompilasi lainnya. Menurut saya “Album Vakansi” ini dikemas sangat apik dari segi kualitas musik dan juga artwork yang terdapat di dalam album ini. WSATCC mencoba menceritakan perjalanan mereka selama ini melalui “Vakansi” ini. Keistimewaan album ini juga tergambar dari kerjasama dan kolaborasi yang dilakukan dengan seniman-seniman lain seperti Fariz RM, Oele Pattiselanno, dan juga ada karya ciptaan Ade Firza Paloh (mantan vokalis Sore) dan juga Oomleo (personil Goodnight Electric). Masih ada nama lain yang berjasa dalam album ini yaitu David Tarigan (Aksara Records) dan Muhammad Asranur –yang juga seorang fotografer-. Dari segi musikal, WSATCC tidak usah diragukan lagi.
Awal lagu ini kita sudah diajak untuk “Berjalan-jalan” dari Pulau Bintan, Surabaya, Bali, Irian Jaya atau Papua sampai ke Amerika. Intro yang sangat menarik. Lalu ada lagu “Zamrud Khatulistiwa” yang bercerita tentang alam Nusantara.
Sebuah lagu gubahan Fariz RM yaitu “Selangkah Ke Seberang” yang diaransemen ulang oleh WSATCC adalah lagu yang paling asyik di album ini, lagu favorit saya. Lagu “Kisah dari Selatan Jakarta” juga tak kalah asyik, lagu ciptaan Oomleo dari Goodnight Electric terdengar syahdu dengan lirik yang sangat puitis, saya sendiri tak mengerti maksud dari lirik yang terasa “berat” ditelinga.
Tak lupa lagu berjudul “Vakansi” yang terdapat dalam lagu ini sangat bagus. WSATCC mencoba bekerjasama dengan gitaris jazz Indonesia om Oele Pattiselano, melodi gitar yang sangat memikat dari om Oele Pattiselano dan juga Ale Husein tentunya. Sangat cocok didengar di pada saat hari minggu pagi, dimana kita dapat bersantai nikmati hari yang cerah ini.
Sebagai pamungkas dari seluruh lagu-lagu yang ada di album ini, WSTACC menampilkan lagu “Matahari” yang ditulis liriknya oleh David Tarigan dari Aksara Records, label Indie yang sudah tutup. Liriknya berbahasa Inggris namun diselipi kata-kata dari Bahasa Indonesia seperti “no more pretend, no pura-pura” dan juga musik dengan nuansa Afrika menjadi kearifan tersendiri dalam lagu ini. Lagu penutup yang dahsyat.
WSTACC sendiri dikenal sebagai band yang mengusung lagu dan style era 70an dan 80an, dengan musik bergaya jazz. Walaupun demikian, musik WSATCC tidak hanya untuk diperdengarkan oleh kalangan tertentu saja. Musik dari album asyik untuk didengar oleh semua kalangan, melewati lintas batas usia, genre musik, profesi dan sebagainya. Semua orang boleh mendengar dan merasakan musik dari band berbakat Indonesia ini. Disarankan didengar ketika sedang bersantai atau berlibur di musim kemarau yang terik.
Sebagai penutup, album ini menyuguhkan musik berkualitas yang tidak seragam seperti di Televisi dan album ini sekiranya mendekati sempurna jika tidak ingin dibilang sempurna. Saya ingin mengatakan bahwa tepat sekali jika album “Vakansi” dari WSATCC menjadi album terbaik tahun 2010 :)
Songlist:
1. Berjalan-jalan
2. Zamrud Khatulistiwa
3. Senja Menggila
4. Selangkah Keseberang (Fariz RM cover)
5. Rented Room
6. Kampus Kemarau
7. Sans Titre
8. Hacienda
9. Masa Remadja
10. Ye Good Ol’days
11. Vakansi
12. Kisah Dari Selatan Jakarta
13. Matahari
Enjoy :)
2. “Ode Buat Kota” dari Bangkutaman
’ Lirik-lirik pada album ini seperti akumulasi cidera dan kopi hitam dari berbagai peristiwa sehari-hari yang “harus” dialami. Ini kota Jakarta. Wahyu Nugroho dan J.Irwin menceritakannya.”
Trio Indie Pop asal Yogyakarta yang digawangi oleh Wahyu “Acum” Nugroho (Bass/Vokal), Dedyk Nugroho (Drummer) dan J Irwin (Gitaris) ini adalah band Indie fenomenal. Kancah bermusik mereka sudah dikenal luas sejak satu dekade silam dari kota gudeng Yogyakarta. Kini mereka telah menetap di Jakarta dan album ini membuat nama band ini melambung semakin besar. Album Ode Buat Kota adalah sebuah sindiran terhadap kota Jakarta, tempat dimana mereka tinggal saat ini sebagai pekerja.
Personil Bangkutaman sendiri dikenal mempunyai profesi yang berbeda, seperti Acum seorang Jurnalis di Majalah Traxyang juga jebolan Universitas Sanata Dharma Yogyakarta jurusan Biologi. Lalu ada Dedyk, lulusan Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta bekerja sebagai pengacara. Terakhir J.Irwin, alumnus jurusan Sastra Inggris Universitas Sanata Dharma Yogyakarta yang saat ini bekerja sebagai editor buku.
Kepenatan dalam kehidupan kota jakarta digambarkan dalam lagu “penat” atau “menjadi manusia”, lalu terkadang kota ini terkesan tidak manusiawi dimana banyak orang bersikap sangat individualis dan kurang humanis, lagu “menjadi manusia” ciptaan J.Irwin menggambarkan hal tersebut.
“Menjadi manusia bukanlah hal yang mudah. Terkadang perbuatan baik tidak selalu ditanggapi dengan baik dan perbuatan jahat tidak selalu ditanggapi dengan perbuatan jahat,” tulis J.Irwin dalam note song ”Menjadi Manusia”.
Tak lupa transportasi adalah masalah krusial di kota Jakarta. Kemacetan menjadi polemik panjang. Lalu bagaimana personil Bangkutaman menghadapi situasi ini? Sebagian dari mereka lebih memilih KRL sebagai transportasi alternatif yang nyaman, murah, dan cepat sampai tujuan, yang tergambarkan di nomor “Train Song” ciptaan J.Irwin pula. Ditulis ketika menunggu KRL ekonomi AC bernama Ciujung Malam jurusan Dukuh Atas-Serpong yang berangkat sangat larut malam, yaitu pukul 23.05. Suara kereta diawal lagu ini direkam langsung dari KRL Ciujung Malam tersebut.
Masih banyak lagu lain di album ini yang sangat menarik. Sebagai klimaks, dengarkan “Catch Me When I Fall” dan “Ode Buat Kota” yang menjadi hits single di album ini. Ode tak selamanya pujian, dalam pelajaran Bahasa Indonesia. Bangkutaman mencoba membuat ode dalam album sebagai lukisan sinis untuk kota ini tetapi tetap menarik untuk didengar.
Jadi, album “Ode Buat Kota” pantas disejajarkan atau minimal album terbaik nomor dua tahun 2010 setelah “Vakansi” dari White Shoes and The Couples Company.
Songlist:
1. Ode Buat Kota
2. Jalan Pulang
3. Hilangkan
4. Cofee People
5. Alusi
6. Penat
7. Train Song
8. Dibatas Lelah
9. Menjadi Manusia
10. Catch Me When I Fall
Ditulis di Jakarta, minggu pagi 5 Desember 2010 pukul 06.45 dan selesai pukul 8.19 Waktu Indonesia Barat
* penulis adalah Siswa SMA 13 Jakarta kelas 12, menyukai music”cutting edge” dan penggemar band Indie khususnya Bangkutaman dan Efek Rumah Kaca
Sekitar pukul 6 pagi, KA Argo Parahyangan akhirnya meninggalkan Stasiun Gambir dan panormana Monas di sekitarnya menuju Bandung. Suara kereta api “Tut Tut Tut” perlahan terdengar lembut, melaju melewati stasiun-stasiun seperti Gondangdia, Cikini dan Manggarai. Dan kereta pun berhenti sejenak di Stasiun Jatinegara, banyak penumpang naik dari stasiun tersebut sehingga gerbong kereta api penuh terisi penumpang. Perjalanan lalu dilanjutkan melewati daerah Bekasi, Karawang, Cikampek, Purwakarta, Padalarang, Cimahi dan akhirnya berhenti di tujuan akhir yaitu Bandung.
“Sudah sampai Bandung nih! Ayo turun,” Komando saya kepada teman-teman yang sedang asyik di dalam gerbong. Kami sampai Stasiun Bandung sekitar pukul 9.15. Sampai stasiun kita langsung ke loket penjualan tiket, kami membeli tiket untuk pulang. Muadz yang membeli tiket tersebut.
“Eh tiketnya Cuma ada 4 nih, yang lain habis. Kita kan bertujuh, bagaimana?” Tanya Muadz. “Yaudah enggak apa-apa, dibeli saja, 3 orang lainnya beli tiket berdiri ketika mau berangkat,” Jawab saya. Akhirnya kami memutuskan untuk membeli tiket 4 dulu saja, sisanya menyusul tiket tanpa tempat duduk. Di akhir pekan, Kereta Argo Parahyangan memang banyak penumpang, karena banyak warga Jakarta yang berlibur ke Bandung.
Perjalanan kami lanjutkan menuju alun-alun Kota Bandung untuk sarapan pagi. Saya sebagai pemimpin perjalanan saat itu. Berjalan kaki dari Stasiun Bandung menuju alun-alun lumayan lelah juga, melewati ruko dan pasar di jalan Otista, Bandung. Sampai di alun-alun kami sarapan pagi, ada yang makan soto bandung dan nasi goreng. Setelah sarapan pagi, kami memutuskan melanjutkan perjalanan dan ingin singgah di museum Konferensi Asia Afrika (KAA) yang ternyata museumnya tutup hari sabtu dan minggu. Karena tutup, kami jalan kaki kembali dari jalan Asia Afrika menyusuri jalan Braga hingga jalan Wastukencana depan Balaikota Bandung. Di jalan Braga kami melihat iring-iringan rombongan mobil Menteri Kebudayaan dan Pariwisata, Bapak Jero Wacik yang akan meresmikan Pasar Seni ITB. Bapak Jero Wacik ini juga alumni ITB sekitar tahun 70-an.
“Kapan nih jalan kakinya? Gua udah capek!” keluh Didik. Akhirnya kami sampai di depan Balaikota Bandung juga setelah berjalan kaki kurang lebih 500 meter dari alun-alun kota Bandung. Selanjutnya kami menggunakan bis Damri menuju Dago yang melewati daerah sekitar kampus ITB. Jalanan Bandung hari itu sangatlah padat dan macet sekali Seni juga. Sambil menikmati pemandangan Kota Bandung, saya baru sadar ternyata bis Damri tak lewat jalan Dago (Jl.Ir.H.Juanda) dan berbelok ke Jalan Dipatiukur karena jalan Dago ditutup. Penyebabnya adalah Pasar Seni ITB. “Yang mau ke ITB turun disini, nanti jalan kaki sedikit. Jalan Dago ditutup!” Teriak kondektur bis Damri tersebut.
Kamipun jalan kaki dari jalan Dipatiukur melewati jalan-jalan kecil menuju jalan Dago dan Ganesha. Akhirnya pukul 11 kami sampai juga di jalan Ganesha tempat perhelatan Pasar Seni ITB. Sampai disana, suasana sudah sangatlah ramai. Untuk berjalan kaki saja sangat susah. Melewati jalan Ganesha menuju gerbang utama kampus ITB kita diberikan suasana yang tak biasanya, jalan Ganesha berubah menjadi jalan seni. Ada instalasi karya seni dari bambu, lalu yang mengejutkan adalah dipamerkan tabung gas di jalan Ganesha yang menjadi simbol ledakan akhir-akhir ini di Indonesia. Seni pertunjukan juga ditampilkan dijalan seperti musikalisasi puisi yang ditampilkan oleh para seniman. Dipajang pula salah satu sepeda antik di jalan tersebut.
Sampai di pintu gerbang utama, saya bertemu dengan Tiwi. Lalu kami semua masuk ke area Pasar Seni ITB 2010. Area Pasar Seni ITB memang seperti lautan manusia. Masyarakat kota Bandung dan kota-kota lainnya seperti Jakarta tumpah ruah datang ke Pasar Seni. Begitu kami masuk melalui pintu gerbang pertama, kami disambut oleh patung “Tiga Mojang” dari Perumahan Harapan Indah yang kini telah dibongkar karena diprotes oleh salah satu ormas keagamaan. Patung ini ditampilkan di venue Pasar Seni ITB adalah bentukdari apresiasi karya seni yang terlupakan. Patung yang dinilai oleh ormas tersebut mengarah kepada pornografi tanpa melihat estetika dari karya seni tersebut.
Berjalan saya dan teman-teman lain menyusuri stand-stand ditengah keramaian pengunjung yang ada di Pasar Seni ITB. Acara Pasar Seni ini adalah suatu acara dengan konsep menjual berbagai karya seni dari para seniman, merchandise atau souvenir, dan juga stand makanan nusantara. Tidak hanya itu, di dalam pasar seni juga terdapat karya seni instalasi yang bisa dilihat di jalan Ganesha dan juga di Kampus ITB. Seperti, karya instalasi sepeda ontel yang disusun menjadi bentuk piramida.
Hal yang lebih menarik lagi adalah dibangun wahana-wahana oleh mahasiswa FSRD ITB bekerja sama dengan mahasiswa fakultas lain. Sebagai contoh, wahana area jamming adalah kerjasama antara mahasiswa Seni Rupa dengan mahasiswa Teknik Elektro ITB dimana dalamdi sekitar wahana tersebut, sinyal telepon seluler tidak dapat berfungsi dengan baik. Wahana ini mengingatkan kita tentang pentingnya komunikasi secara langsung antara individu.
Dengan adanya kecanggihan teknologi seperti telepon seluler, masyarakat modern kerap kali melupakan bentuk komunikasi yang fundamental yaitu berinteraksi secara langsung. Ada pula wahana “Kamar Vibrator”, sebuah ruangan dengan simulasi gempa, kerjasama antara mahasiswa Seni Rupa dengan Teknik Mesin. Sayangnya, kami tidak masuk kedalam wahana apapun lantaran padatnya pengunjung yang datang.
Di dalam Pasar Seni 2010 juga digelar pertunjukan musik di dua zona yaitu mengingatkan dan melupakan. Zona mengingatkan berada di depan Taman Ganesha dan Masjid Salman, menghadap pintu gerbang kampus ITB. Di zona mengingatkan ini tedapat perfomer Zake Kasheli dkk. Lalu berada diujung area Pasar Seni yaitu zona melupakan, dimana perfomer di panggung tersebut adalah band-band era 90-an seperti Krakatau, The Panas Dalam, dan P-Project. Saya sempat menyaksikan Candil ex vokalis Serieues berkolaborasi dengan band Krakatau yang menyanyikan lagu Sunda yaitu “Panon Hiedung”.
Selain pagelaran musik, pengunjung juga dapat melihat pawai budaya juga terjadi di pagelaran Pasar Seni 2010, dari bentuk kesenian tradisional topeng hingga pawai dari sekelompok mahasiswa nyentrik yang mengenakan kostum olahraga, mereka adalah mahasiswa Institut Kesenian Jakarta.
Sekitar pukul 14.00 pengunjung di Pasar Seni 2010 bukannya bertambah sepi, melainkan bertambah ramai. Konon katanya, Pasar Seni yang diadakan 4, 5, atau 6 tahun sekali ini dapat mendatangkan jumlah pengunjung hingga 200 ribu jiwa. Angka yang sangat mengagumkan untuk pagelaran seni dan budaya selama 1 hari ini.
Lelah saya dan teman-teman berkeliling area Pasar Seni 2010, ada diantara kami yang membeli souvenir/merchandise original dari Pasar Seni seperti kaos atau gantungan kunci dan pin. Sebelum pulang rombongan bertambah satu yaitu Cica, teman kami juga dari Jakarta yang baru sampai di Pasar Seni 2010.
Sekitar pukul 15.30 kami berjalan keluar dari Labtek V menuju pintu gerbang utama kampus ITB. Setiap pagelaran Pasar Seni ITB yang membuat begitu khas yaitu padatnya kampus ITB karena ramainya pengunjung. “Mau keluar area saja susah! Kita jalan bagaikan semut aja,” Mungkin itu ungkapan yang terlintas dari para pengunjung ketika menghadapi susahnya jalan-jalan di area Pasar Seni ITB. Alhasil, kami membutuhkan waktu sekitar 30 menit untuk berjalan kaki dari Labtek V yang berada dibagian belakang arena ke pintu gerbang utama lalu berjalan melintasi Jalan Ganesha menuju Jalan Ir.H.Djuanda (Dago).
Setelah sampai di jalan Dago sekitar pukul 16.00, kami langsung berangkat ke Stasiun Bandung menggunakan angkot jurusan Dago-St.Hall. Satu hal yang membuat perjalanan pulang ini memicu adrenalin –agak sedikit lebay- adalah kami tiba di stasiun yaitu sekitar pukul 16.25, waktu yang sangat mepet sekali dimana 5 menit lagi kereta akan diberangkatkan ke Jakarta. Akhirnya saya, Muadz, Handika, Adam, Faris, dan Angga pulang ke Jakarta dengan menggunakan Kereta Api Argo Parahyangan kelas bisnis kembali. Sedangkan Didik dan Cica memutuskan untuk menumpang bis dan Tiwi bersama orang tuanya naik mobil pribadi.
Jakarta malam hari telah menyambut saya dalam laju kereta api. Tak terasa laju kereta api telah sampai Kota Bekasi lalu Jatinegara. Suasana keramaian ibukota Jakarta kembali terngiang di benak saya. Turun di Stasiun Jatinegara telah menyadarkan saya akan kerasnya kehidupan ibukota. Para pedagang yang berjualan, suara mesin angkot dan metromini, suara kaki yang berlalu lalang menambah deret panjang ciri khas Jakarta. Suatu perbedaan yang mencolok ketika saya membandingkan dengan suasana Pasar Seni ITB. Sebenarnya saya masih ingin berlama-lama di Kota Kembang tapi tuntutan UTS siswa kelas 3 SMA di hari esok harus dilaksanakan. Jakarta memang tak seramah Bandung, menurut saya. Tetapi disinilah saya harus menjalani rutinitas. Mengutip sebuah lirik dari Koes Ploes “Ke Jakarta aku kan kembali, walaupun apa yang terjadi”. Jalan pulang dari Jatinegara menuju Tanjung Priok sudah saya lewati menggunakan bis kota yang penuh sesak. Akhirnya saya kembali kerumah. Istirahat lalu bersiap untuk hari esok, hari Senin kala itu.
Jakarta, 31 Oktober 2010
It has been 2 years ago when I visited Kompas-Gramedia building at South Palmerah,
After Kompas Muda, there were unexpected thing for me; I had a project again in media. At the time, I had a chance to be a school journalist for Hai Magazine to write articles about senior high school students’ lifestyle and others to “My School Page” rubric
A Journalist from Hai Magazine, Rahmat Budiman (Mate) gave me an opportunity to join school Journalist. Mate is one of alumni SMAN 13 Jakarta. I was so happy to hear that I would write articles once every month for Hai Magazine. I got many friends and experiences after joined “My School Page” Hai as one of the crew or school journalist. At this time, I decide to stop being the crew because I am in twelfth grade now.