Sekitar pukul 6 pagi, KA Argo Parahyangan akhirnya meninggalkan Stasiun Gambir dan panormana Monas di sekitarnya menuju Bandung. Suara kereta api “Tut Tut Tut” perlahan terdengar lembut, melaju melewati stasiun-stasiun seperti Gondangdia, Cikini dan Manggarai. Dan kereta pun berhenti sejenak di Stasiun Jatinegara, banyak penumpang naik dari stasiun tersebut sehingga gerbong kereta api penuh terisi penumpang. Perjalanan lalu dilanjutkan melewati daerah Bekasi, Karawang, Cikampek, Purwakarta, Padalarang, Cimahi dan akhirnya berhenti di tujuan akhir yaitu Bandung.
“Sudah sampai Bandung nih! Ayo turun,” Komando saya kepada teman-teman yang sedang asyik di dalam gerbong. Kami sampai Stasiun Bandung sekitar pukul 9.15. Sampai stasiun kita langsung ke loket penjualan tiket, kami membeli tiket untuk pulang. Muadz yang membeli tiket tersebut.
“Eh tiketnya Cuma ada 4 nih, yang lain habis. Kita kan bertujuh, bagaimana?” Tanya Muadz. “Yaudah enggak apa-apa, dibeli saja, 3 orang lainnya beli tiket berdiri ketika mau berangkat,” Jawab saya. Akhirnya kami memutuskan untuk membeli tiket 4 dulu saja, sisanya menyusul tiket tanpa tempat duduk. Di akhir pekan, Kereta Argo Parahyangan memang banyak penumpang, karena banyak warga Jakarta yang berlibur ke Bandung.
Perjalanan kami lanjutkan menuju alun-alun Kota Bandung untuk sarapan pagi. Saya sebagai pemimpin perjalanan saat itu. Berjalan kaki dari Stasiun Bandung menuju alun-alun lumayan lelah juga, melewati ruko dan pasar di jalan Otista, Bandung. Sampai di alun-alun kami sarapan pagi, ada yang makan soto bandung dan nasi goreng. Setelah sarapan pagi, kami memutuskan melanjutkan perjalanan dan ingin singgah di museum Konferensi Asia Afrika (KAA) yang ternyata museumnya tutup hari sabtu dan minggu. Karena tutup, kami jalan kaki kembali dari jalan Asia Afrika menyusuri jalan Braga hingga jalan Wastukencana depan Balaikota Bandung. Di jalan Braga kami melihat iring-iringan rombongan mobil Menteri Kebudayaan dan Pariwisata, Bapak Jero Wacik yang akan meresmikan Pasar Seni ITB. Bapak Jero Wacik ini juga alumni ITB sekitar tahun 70-an.
“Kapan nih jalan kakinya? Gua udah capek!” keluh Didik. Akhirnya kami sampai di depan Balaikota Bandung juga setelah berjalan kaki kurang lebih 500 meter dari alun-alun kota Bandung. Selanjutnya kami menggunakan bis Damri menuju Dago yang melewati daerah sekitar kampus ITB. Jalanan Bandung hari itu sangatlah padat dan macet sekali Seni juga. Sambil menikmati pemandangan Kota Bandung, saya baru sadar ternyata bis Damri tak lewat jalan Dago (Jl.Ir.H.Juanda) dan berbelok ke Jalan Dipatiukur karena jalan Dago ditutup. Penyebabnya adalah Pasar Seni ITB. “Yang mau ke ITB turun disini, nanti jalan kaki sedikit. Jalan Dago ditutup!” Teriak kondektur bis Damri tersebut.
Kamipun jalan kaki dari jalan Dipatiukur melewati jalan-jalan kecil menuju jalan Dago dan Ganesha. Akhirnya pukul 11 kami sampai juga di jalan Ganesha tempat perhelatan Pasar Seni ITB. Sampai disana, suasana sudah sangatlah ramai. Untuk berjalan kaki saja sangat susah. Melewati jalan Ganesha menuju gerbang utama kampus ITB kita diberikan suasana yang tak biasanya, jalan Ganesha berubah menjadi jalan seni. Ada instalasi karya seni dari bambu, lalu yang mengejutkan adalah dipamerkan tabung gas di jalan Ganesha yang menjadi simbol ledakan akhir-akhir ini di Indonesia. Seni pertunjukan juga ditampilkan dijalan seperti musikalisasi puisi yang ditampilkan oleh para seniman. Dipajang pula salah satu sepeda antik di jalan tersebut.
Sampai di pintu gerbang utama, saya bertemu dengan Tiwi. Lalu kami semua masuk ke area Pasar Seni ITB 2010. Area Pasar Seni ITB memang seperti lautan manusia. Masyarakat kota Bandung dan kota-kota lainnya seperti Jakarta tumpah ruah datang ke Pasar Seni. Begitu kami masuk melalui pintu gerbang pertama, kami disambut oleh patung “Tiga Mojang” dari Perumahan Harapan Indah yang kini telah dibongkar karena diprotes oleh salah satu ormas keagamaan. Patung ini ditampilkan di venue Pasar Seni ITB adalah bentukdari apresiasi karya seni yang terlupakan. Patung yang dinilai oleh ormas tersebut mengarah kepada pornografi tanpa melihat estetika dari karya seni tersebut.
Berjalan saya dan teman-teman lain menyusuri stand-stand ditengah keramaian pengunjung yang ada di Pasar Seni ITB. Acara Pasar Seni ini adalah suatu acara dengan konsep menjual berbagai karya seni dari para seniman, merchandise atau souvenir, dan juga stand makanan nusantara. Tidak hanya itu, di dalam pasar seni juga terdapat karya seni instalasi yang bisa dilihat di jalan Ganesha dan juga di Kampus ITB. Seperti, karya instalasi sepeda ontel yang disusun menjadi bentuk piramida.
Hal yang lebih menarik lagi adalah dibangun wahana-wahana oleh mahasiswa FSRD ITB bekerja sama dengan mahasiswa fakultas lain. Sebagai contoh, wahana area jamming adalah kerjasama antara mahasiswa Seni Rupa dengan mahasiswa Teknik Elektro ITB dimana dalamdi sekitar wahana tersebut, sinyal telepon seluler tidak dapat berfungsi dengan baik. Wahana ini mengingatkan kita tentang pentingnya komunikasi secara langsung antara individu.
Dengan adanya kecanggihan teknologi seperti telepon seluler, masyarakat modern kerap kali melupakan bentuk komunikasi yang fundamental yaitu berinteraksi secara langsung. Ada pula wahana “Kamar Vibrator”, sebuah ruangan dengan simulasi gempa, kerjasama antara mahasiswa Seni Rupa dengan Teknik Mesin. Sayangnya, kami tidak masuk kedalam wahana apapun lantaran padatnya pengunjung yang datang.
Di dalam Pasar Seni 2010 juga digelar pertunjukan musik di dua zona yaitu mengingatkan dan melupakan. Zona mengingatkan berada di depan Taman Ganesha dan Masjid Salman, menghadap pintu gerbang kampus ITB. Di zona mengingatkan ini tedapat perfomer Zake Kasheli dkk. Lalu berada diujung area Pasar Seni yaitu zona melupakan, dimana perfomer di panggung tersebut adalah band-band era 90-an seperti Krakatau, The Panas Dalam, dan P-Project. Saya sempat menyaksikan Candil ex vokalis Serieues berkolaborasi dengan band Krakatau yang menyanyikan lagu Sunda yaitu “Panon Hiedung”.
Selain pagelaran musik, pengunjung juga dapat melihat pawai budaya juga terjadi di pagelaran Pasar Seni 2010, dari bentuk kesenian tradisional topeng hingga pawai dari sekelompok mahasiswa nyentrik yang mengenakan kostum olahraga, mereka adalah mahasiswa Institut Kesenian Jakarta.
Sekitar pukul 14.00 pengunjung di Pasar Seni 2010 bukannya bertambah sepi, melainkan bertambah ramai. Konon katanya, Pasar Seni yang diadakan 4, 5, atau 6 tahun sekali ini dapat mendatangkan jumlah pengunjung hingga 200 ribu jiwa. Angka yang sangat mengagumkan untuk pagelaran seni dan budaya selama 1 hari ini.
Lelah saya dan teman-teman berkeliling area Pasar Seni 2010, ada diantara kami yang membeli souvenir/merchandise original dari Pasar Seni seperti kaos atau gantungan kunci dan pin. Sebelum pulang rombongan bertambah satu yaitu Cica, teman kami juga dari Jakarta yang baru sampai di Pasar Seni 2010.
Sekitar pukul 15.30 kami berjalan keluar dari Labtek V menuju pintu gerbang utama kampus ITB. Setiap pagelaran Pasar Seni ITB yang membuat begitu khas yaitu padatnya kampus ITB karena ramainya pengunjung. “Mau keluar area saja susah! Kita jalan bagaikan semut aja,” Mungkin itu ungkapan yang terlintas dari para pengunjung ketika menghadapi susahnya jalan-jalan di area Pasar Seni ITB. Alhasil, kami membutuhkan waktu sekitar 30 menit untuk berjalan kaki dari Labtek V yang berada dibagian belakang arena ke pintu gerbang utama lalu berjalan melintasi Jalan Ganesha menuju Jalan Ir.H.Djuanda (Dago).
Setelah sampai di jalan Dago sekitar pukul 16.00, kami langsung berangkat ke Stasiun Bandung menggunakan angkot jurusan Dago-St.Hall. Satu hal yang membuat perjalanan pulang ini memicu adrenalin –agak sedikit lebay- adalah kami tiba di stasiun yaitu sekitar pukul 16.25, waktu yang sangat mepet sekali dimana 5 menit lagi kereta akan diberangkatkan ke Jakarta. Akhirnya saya, Muadz, Handika, Adam, Faris, dan Angga pulang ke Jakarta dengan menggunakan Kereta Api Argo Parahyangan kelas bisnis kembali. Sedangkan Didik dan Cica memutuskan untuk menumpang bis dan Tiwi bersama orang tuanya naik mobil pribadi.
Jakarta malam hari telah menyambut saya dalam laju kereta api. Tak terasa laju kereta api telah sampai Kota Bekasi lalu Jatinegara. Suasana keramaian ibukota Jakarta kembali terngiang di benak saya. Turun di Stasiun Jatinegara telah menyadarkan saya akan kerasnya kehidupan ibukota. Para pedagang yang berjualan, suara mesin angkot dan metromini, suara kaki yang berlalu lalang menambah deret panjang ciri khas Jakarta. Suatu perbedaan yang mencolok ketika saya membandingkan dengan suasana Pasar Seni ITB. Sebenarnya saya masih ingin berlama-lama di Kota Kembang tapi tuntutan UTS siswa kelas 3 SMA di hari esok harus dilaksanakan. Jakarta memang tak seramah Bandung, menurut saya. Tetapi disinilah saya harus menjalani rutinitas. Mengutip sebuah lirik dari Koes Ploes “Ke Jakarta aku kan kembali, walaupun apa yang terjadi”. Jalan pulang dari Jatinegara menuju Tanjung Priok sudah saya lewati menggunakan bis kota yang penuh sesak. Akhirnya saya kembali kerumah. Istirahat lalu bersiap untuk hari esok, hari Senin kala itu.
Jakarta, 31 Oktober 2010