Foto ini dipotret oleh: @aryhr
“Mentari pagi sudah membumbung tinggi/ Bangunlah putra putri ibu pertiwi/ Mari mandi dan gosok gigi/ Terbanglah garudaku/ Singkirkan kutu-kutu di sayapmu/Oh..Berkibarlah benderaku/ Singkirkan benalu di tiangmu/ Jangan ragu dan jangan malu/ Tunjukkan pada dunia/Bahwa sebenarnya kita mampu” (Iwan Fals – Bangunlah Putra-Putri Pertiwi)
Sepenggal lirik dari Iwan Fals tersebut sangat cocok untuk masyarakat Indonesia saat ini lantaran kecewa dengan hasil gagalnya Indonesia menyabet gelar juara Piala Suzuki AFF 2010. Kesedihan tak boleh terus menerus terjadi karena hal itu tak akan merubah keadaan. Indonesia memang belum pernah menjadi juara di ajang turnamen sepakbola paling bergengsi di Asia Tenggara ini. Indonesia baru mampu mencapai posisi runner up pada tahun 2000, 2002, 2004, dan kini 2010. Namun jangan berputus asa, mari bangkit kembali wahai pujangga Timnas Garuda dan masyarakat sepakbola Indonesia. Tidak ada keberhasilan tanpa melalui proses dan kegagalan-kegagalan merebut juara adalah sebuah proses pembelajaran untuk kemajuan di kemudian hari. Tidak ada keberhasilan melalui proses yang instan.
Indonesia memang gagal juara, namun antusiasme masyarakat Indonesia terbukti juara. Bulan Desember yang akan berganti ini menyisakan sebuah kenangan bagi sepakbola Indonesia. Masyarakat Indonesia berbondong-bondong datang ke Stadion Utama Gelora Bung Karno (GBK) untuk mendukung langsung kesebelasan Garuda bertanding. Kenaikan jumlah penonton terus bertambah dari mulai babak penyisihan hingga puncaknya saat partai final berlangsung, lautan manusia menyelimuti GBK. Orang-orang rela antri berjam-jam demi mendapatkan sebuah tiket. Namun, mereka yang tidak mendapatkan tiket juga tak berkecil hati, mereka masih bersemangat menyaksikan pertandingan walaupun hanya dari layar lebar di luar stadion.
Sayangnya, antusiasme masyarakat Indonesia untuk menyaksikan pertandingan sepakbola tidak diiringi dengan kualitas layanan yang memuaskan dari pihak penyelenggara yaitu PSSI. Manajemen tiket yang amburadul dan masih banyaknya calo berkeliaran menjadi masalah utama dalam penyelenggaraan Piala AFF 2010 ini. Maka tak heran, keributan dalam masalah distribusi tiket adalah tontontan di televisi yang sebenernya hal ini sangat memalukan. PSSI juga terkesan sangat komersil dengan menaikkan harga pada laga semifinal dan final. Dengan alih-alih untuk pelayanan yang lebih baik, tetapi yang terjadi nol besar. Kekacauan dan kerusuhan semakin menjadi ketika puncaknya mendekati partai final.
Jumat (17/12) setelah Sholat Jumat bersama empat orang teman lainnya saya bergegas ke GBK untuk membeli tiket semifinal leg kedua Indonesia VS Filipina. Ketika saya datang kira-kira jam 3 sore antrian saat itu sudah sangat panjang. Saya melihat di depan pintu X antrian massa sangat tidak teratur. Banyak orang termasuk seorang ibu yang saya lihat tidak bisa keluar setelah membeli tiket –masih berbentuk nota dan harus ditukarkan saat hari H-. Terpaksa mereka harus meloncat dari pagar diantara kerumunan massa agar bisa keluar dari kerumunan massa. Loket yang dibuka saat itu hanya dua loket di pintu X dan sangat tidak berbanding dengan banyaknya massa saat itu. Akhirnya, kurang lebih 2 jam setengah saya dan teman-teman yang lain baru bisa mendapatkan tiket.
Suasana antrian di loket timur Senayan
PSSI Tidak Pernah Belajar
Menjelang laga final, masalah distribusi tiket kembali berulang. Kali ini lebih parah daripada semifinal. Hari pertama dan kedua pembelian tiket, saya hanya menyaksikan pemberitaan terkait penjualan tiket dari Televisi. Saya melihat orang-orang antri sejak pagi namun pada siang hari tiket sudah habis terjual. Banyak orang yang tidak mendapatkan tiket dan kecewa, sebagian dari mereka ada yang protes ke kantor PSSI. Hari kedua, saya melihat dari televisi kericuhan di loket utara TVRI. Dan salah satu penulis @ZinePlak mas Iqbal Prakasa (@ColonelSeven) diteriaki calo oleh Satgas PSSI dan akhirnya mendapatkan bogem mentah dari Satgas tersebut karena mas @colonelseven ini protes terkait carut-marutnya pembelian tiket. Negeri macam apa ini ketika seseorang ingin berpendapat dan melakukan protes untuk kebaikan malah dibungkam, dengan cara kekerasan pula. Di mana keadilan itu?
Tampaknya PSSI tidak pernah belajar dari kejadian sebelumnya. Lalu penjualan tiket online kabarnya juga ricuh, tak transparan karena baru setengah jam tiket dinyatakan sold-out. Hari minggu (26/12), saya berangkat ke GBK setelah sholat shubuh. Bersama teman saya @adamapd, @bayunputra, @nfrofiq, dan Handika berniat berangkat lebih pagi berharap agar dapat antrian tiket yang tidak terlalu belakang. Namun apa daya, sampai disana sekitar jam 5 pagi saya melewati loket Masjid Al-Bina yang udah ramai sekali antriannya. Maklum saja, banyak orang yang sudah berada di GBK khususnya loket Al-Bina sejak malam. Sama halnya seperti salah seorang teman yang bernama Angga, Yandhi, dan Muadz yang sejak malam sudah berada diantara antrian tersebut.
Saya memutuskan untuk mengantri di loket timur Senayan, dan sekitar jam setengah 6 antrian sudah mencapai kolam renang GBK. Berjam-jam saya mengantri dan berdesakan dengan supporter lain. Kami masih menunggu dan terus menunggu loket dibuka. Walaupun hujan kami tetap menunggu loket dibuka yang akhirnya loket tak kunjung dibuka pula. Sekitar jam 10 ada insiden rusuh kecil di loket timur. Sekitar jam 1 atau setengah dua siang, kami baru diberitahu bahwa loket ini memang tidak dibuka, sekarang antrian hanya ada di dalam stadion. Orang yang telah mengantri berjam-jam jelas kecewa karena tidak ada pemberitahuan resmi daritadi, kita hanya menunggu tanpa kepastian.
Massa masuk lapangan Stadion GBK
Setelah itu saya dan teman-teman yang lain memutuskan untuk masuk ke dalam stadion. Kami masuk ke stadion dengan tertib dan selalu mengantri, tak seperti yang dibilang bapak Nurdin Halid bahwa penyebab kekacauan pembelian tiket di hari minggu itu karena tidak tertibnya supporter. Hal itu adalah kebohongan besar. Sampai dalam stadion, saya sudah melihat keributan. Banyak orang masuk ke dalam lapangan dan sebagian diantara mereka ada yang menghamburkan tiket atau kupon, saya tidak melihat jelas. Situasi sangat kacau, saya hanya melihat dari tribun VVIP. Akhirnya pihak kepolisian dapat menenangkan massa dan kami keluar stadion dengan membeli masing-masing satu buah tiket. Penjualan tiket dalam stadion ini dipandu langsung oleh polisi, bukan pihak panitia.
Saya menyesalkan aksi perusakan dan masuknya supporter ke lapangan GBK, namun apa boleh buat. Massa sudah terlanjur kesal dan emosi lantaran kekecewaan mereka terhadap pelayanan tiket amburadul seperti ini. Pahitnya lagi, seorang Nurdin Halid justru menganggap biang kerusuhan ini terjadi karena ulah seorang provokator. Saya kira tak ada provokator, yang ada hanyalah kekesalan dan kekecewaan terhadap manajamen tiket dari panitia.
Teman saya berucap “Gua hampir mati tadi desak-desakan, kita diperlakukan seperti layaknya binatang saja. Nurdin harus turun!”. Kejadian ini adalah perjuangan bagi saya, teman-teman dan supporter lainnya demi mendapatkan sebuah tiket untuk mendukung Timnas.
Lautan manusia di GBK
Persatuan Indonesia
Bulan Desember adalah bulan persatuan Indonesia. Mengapa demikian? Piala AFF 2010 ini telah menyita banyak perhatian bagi rakyat Indonesia. Dari yang murni mencintai sepakbola hingga yang biasa-biasa saja terhadap sepakbola mendadak menjadi sangat bersemangat mendukung Timnas Indonesia berlaga. Media pun sama, dari berita televisi, koran, hingga infotainmet –tak berhubungan dengan sepakbola- ramai-ramai memberitakan perjalanan Timnas Indonesia selama Piala AFF 2010 berlangsung.
Dari anak kecil, pemuda, hingga orang tua ramai-ramai mendukung Firman Utina dkk baik dari layar televisi maupun menyaksikan langsung di Stadion GBK. Dari rakyat jelata hingga Presiden RI sama-sama berada di GBK. Jika Anda sempat mendukung Timnas langsung di stadion, maka atmosfer kebersaman, persatuan dan kebangsaan amat sangat terasa di altar GBK kebanggan bangsa Indonesia.
Tak lupa para pejabat dan politisi berlomba-lomba cari simpati atas keberhasilan Timnas Indonesia. Ada salah satu politisi yang mengundang makan di kediamannya dan juga memberikan hibah sebidang tanah 25 hektar untuk sepakbola. Ada pula kyai yang menggelar Istighotsah di pesantrennya dengan mengundang Timnas langsung. Isu politisasi Timnas Indonesia menguat di media nasional. Maka tak heran, banyak orang menganggap hal non-teknis ini sebagai penyebab kekalahan Indonesia atas Malaysia di stadion Bukit Jalil (26/12).
Bangsa Indonesia adalah bangsa yang majemuk terdiri dari suku, agama, dan ras yang berbeda. Bangsa ini memiliki simbol burung Garuda dengan semboyan “Bhineka Tunggal Ika”. Bulan ini terlihat kita sejenak menghilangkan dulu simbol-simbol primordialisme dan bersama-sama kita kembali kepada “Merah Putih”. Kita melepaskan atribut kesukuan. Suporter-suporter klub Indonesia yang kadang tak akur pun bersatu meneriakan koor massal “Indonesia! Indonesia!” dan sama-sama menyanyikan lagu “Garuda di Dadaku”.
Melalui akun twitter @ArifSuyono, pemain Timnas Indonesia ini menulis: “Kita bisa lihat tawa pedegang asongan n pemimpin kita bersama-sama di GBK. Ini namanya satu bangsa. Aku rindu persaudaraan di GBK. Aku rindu persaudaran di GBK dimana tawa pemimpin kita n pedagang asongan melebur jadi satu. Sesuai semboyan bangsa. Bhineka Tunggal Ika.”
Saya sangat setuju dengan pernyataan mas @ArifSuyono, memang benar kemarin kita merasakan nuansa persatuan dan persaudaraan atas nama Sepakbola. Iya, sepakbola telah menyatukan kita semua, tak peduli kelas sosial yang kita sandang. Kita bergembira bersama mendukung tim kesayangan kita, Indonesia. Walaupun rasa pahit juga kita alami karena mekanisme pembelian tiket yang carut marut ini. Tapi setidaknya masyarakat Indonesia telah menunjukan solidaritas yang tinggi dan loyalitas terhadap Timnas Indonesia. Walaupun harga tiket bagi sebagian orang terasa mahal dan pelayanan pembelian tiket yang buruk, tetapi kita tetap menunjukan antusiasme untuk Indonesia.
Tiba saatnya pertandingan terakhir, final leg kedua Indonesia VS Malaysia di GBK. Disaksikan puluhan ribu jiwa di dalam stadion, ribuan orang di layar luar stadion, dan jutaan masyarakat Indonesia di layar kaca kita bersatu untuk Indonesia. Indonesia menang 2-1 atas Malaysia namun tetap gagal menjadi juara. Banyak yang kecewa namun kita tetap legowo menerima hasil akhir ini. Dan ada hal yang lebih penting bagi masyarakat Indonesia dari sekedar gelar juara apalagi politisasi elit politik. Hal yang lebih penting itu adalah di penghujung tahun 2010 ini kita bisa berkata, “Masyarakat Indonesia bersatu karena sepakbola”. Selamat tahun baru 2011, sepakbola telah menyatukan kita.
Jakarta, 31 Desember 2010 ditengah kemeriahan malam Tahun Baru
(@HMmubarak adalah Siswa SMAN 13 Jakarta, Mendadak Timnas dan berniat mengikuti perkembangan Sepakbola Indonesia tahun 2011)
2 comments:
nice post hus..
gue juga bener" ngerasain atmosfir merah putih yang bikin merinding..
dan gue sangat bangga pas Indonesia ga juara tapi kitanya spotif hehe..
lanjutin tulisannya, mancaab.
Hehehe iya emang. 3 kali gua nonton bola di Stadion GBK, pertama kali pas Indonesia VS Thailand. Tak terlupakan deh.
Btw, yang komen diatas siapa ya?
Post a Comment